23° - Sin 🌗

39 8 3
                                    

Di gubuk tua milik Choi san, salah satu bangunan yang masih selamat dari banyak nya rumah-rumah yang telah hangus. Mereka berjalan beriringan dengan langkah yang melemah. Seonghwa datang dari bilik kiri, langsung memeluk Aira dan menuntunnya. Dengan langkah yang begitu cepat Choi san meraih beberapa botol hitam dari dalam rak kayu, membagi nya ke Wooyoung, Aira dan Gadis yang tengah menatap nya dengan tatapan sayu.

Yui, raut wajah nya memucat. Bibir merah itu mulai membiru. Cuaca dingin tak membuat buliran keringat berhenti  mengalir dari ujung pelipis nya.  Choi san ingat senyuman kecil yang Yui berikan kepadanya, hingga tubuh kecil itu lunglai dan terjatuh.

"YUIII" teriak nya langsung menghampiri tubuh dingin Yui, terasa seperti es, sangat dingin dan lembab. Permukaan kulit nya basah terkena air mata san yang terjatuh di kulit pucat Yui.  Ia terus menerus menggoyang kan tubuh Han Yui tanpa henti. 

Seonghwa menahan nafas nya, terasa seperti sebuah dejavu bukan? otak nya bertanya kepada dirinya sendiri mencoba memutar kembali kenangan menyakitkan itu. menunjukan kembali trauma terdalam dari ketua. seonghwa membenci Yui sejak awal pertemuan semua dalam diri nya adalah salinan dari orang yang paling ingin ia lupakan. kenangan adalah hal paling menyakitkan yang selalu candu untuk di ingat. 

tak seperti biasanya ketua hanya diam terpatung padahal San sudah berkali-kali berteriak memanggil  nama itu tiada henti. segera wooyong datang menyuntikan cairan hitam ke tengkuk Yui, dan sisa nya hanya bisa berdoa dalam hati nya masing-masing entah apa yang akan terjadi malam ini karena badai belum saja berhenti dan bau hangus sudah siap melebur dengan kabut bercampur asap. seluruh pesisir tertutup kepulan putih yang tiba-tiba terasa hangat, bukan dingin seperti yang seharusnya. ada satu hal yang paling Aira takutkan malam ini. 

adalah kata terlambat. 

~Th£ MiSt~ 

Mereka berempat duduk saling berhadapan, di ruangan yang keseluruhannya hanya terbuat dari kayu. Sebuah buku besar terbuka lebar memperlihatkan kosa kata yang asing, tapi tidak dengan Aira. Wanita itu bisa menafsirkan satu demi satu kertas yang berlubang-lubang itu. Huruf braille berjejer rapi di buku peninggalan mendiang ibu nya, tersusun bahasa lama tentang bagaimana wabah ini muncul.

"Satu-satunya cara hanyalah menghancurkan tembok batas, hanya itu" ucap Aira

"Membiarkan semua tertutup kabut? Seluruh pulau? Apakah kau yakin" jawab seonghwa dengan wajah frustasi.

Wanita itu hanya mengangguk, dari mata sayu nya nampak jelas sebuah ketakutan besar sedang menghantuinya. Wooyoung mendekat dan merangkul tubuh kecil itu lebih dekat.

"Jika tidak ada pilihan lain, memang hanya itu yang harus kita lakukan, aku akan pergi mencari beberapa penduduk pesisir yang masih mengungsi " San berdiri ingin mengambil Coat hitam nya

"Biar aku saja tuan Choi, kau disini jaga Yui, rawat dia" seonghwa berdiri menghadang San. Sedangkan pria bermarga Choi itu hanya bisa mengangguk lalu menatap pintu coklat di depannya, tempat Han Yui tertidur di balik selimutnya.

Ketua mulai berjalan menuju pintu utama, memakai topi hitam lalu berjalan maju. tubuhnya berputar menatap rumah kayu San, di pintu yang terbuka itu Aira terduduk memandang ke arahnya dengan tatapan kosong, mata Seonghwa hanya membalas dengan tatapan kesedihan, seonghwa sudah lelah begitu juga Aira, mereka hanya ingin hidup normal sejak dulu tapi hanya ada jalan berduri yang selalu mereka pijak. 

senyuman ketua tertutup topi hitam nya di balik samar-samar ia menghilang dari kabut, hanya suara kuda yang berpacu kencang sebagai kalimat perpisahannya.

"Bagaimana dengan Yui" tanya San kepada Aira

"Kuharap penawar nya tepat waktu, ku rasa dia terlalu banyak menghirup oksigen di kota" jawab Aira

THE MISTWhere stories live. Discover now