21°- Under the light 🌕

78 22 0
                                    

sebuah balon udara memutari kota. melempar selembaran kertas. Mereka beterbangan menghamburkan diri di udara, menapak di sudut-sudut bangunan. Di kota yang sudah sepertiga mati, tak keseluruhan nya menghilang. Para manusia masih bekerja seperti biasa, mobil-mobil  masih berjalan seperti biasanya, hanya saja riuh suara yang biasa terdengar menjadi hening dalam satu malam. 

Semua orang berhenti di tengah jalan, ntah orang-orang yang sengaja turun dari kendaraan, hanya untuk memungut kertas putih bertuliskan banyak paragraf yang membuat mereka menerka-nerka lalu murka. Layaknya manusia pada umumnya, walaupun kebenaran cerita ini masih dipertanyakan, namun jika tertulis secara hina, pada akhirnya mereka tetap akan mencaci maki.

"Sudah kuduga! Sudah kuduga sejak awal!!"

Teriak salah satu pria jangkung di kiri telepon umum. Disusul orang-orang di sampingnya. Semua merasa di bodohi dan di khianati.

Hanya Minggu pagi di pusat kota, tepat di samping gedung petinggi, semua orang berkumpul membuat lautan ombak manusia hanya dengan hitungan menit setelah kertas-kertas itu berjatuhan. Mempertanyakan kebenaran, dan menuntut ke adilan.

~Th£ MiSt~

Aira berfikir dalam diam, memejamkan mata yang bahkan jika tak ia lakukan pun. Semua akan selalu terlihat sama, gelap dan sepi. Di penerangan minim, cahaya kuning melingkar di atas kepala mereka. Udara terasa dingin, tembok-tembok semen yang lembab mengeluarkan aroma basah. Dan Aira masih saja di tempat yang sama, terduduk di sudut ranjang dengan sebuah buku braille.

Yui hanya bisa memandang wanita itu dari jauh, tak ada satupun niatan untuk menganggu waktu Aira menyendiri dalam gelap dengan huruf-huruf itu.

"Pernahkah kau berfikir untuk mati di tengah-tengah kebahagiaan mu?" Ucap Aira secara tiba-tiba

"Nggg... Bukankah itu terdengar aneh?"jawab Han Yui

"Haha.. iya, memang"

Terjeda beberapa detik hingga Aira melanjutkan isi kalimat yang terpotong.

"Aku selalu merasa bahagia di atas penderitaan nya, aku tak sepenuhnya mencintai Wooyoung... Aku hanya membalas kebaikannya"  ucap Aira dengan tawa kecil

Yui tebelalak hebat. Wooyoung adalah bukti dari perbudakan pria yang nyata. Bukankah dengan semua perilaku itu Aira seharusnya jatuh cinta?

"Tapi dia memberikan segalanya kepada mu"

Aira diam, hanya nafas dari keduanya yang saling berpacu.

"Aku tak tau, aku hanya terlahir tanpa perasaan"

"Kau pasti akan mencintai nya suatu hari nanti! Pegang kata-kata ku!" Yui mengatakannya dengan nada  menekan

Sedangkan empu itu hanya tersenyum manis. Entah apa yang ada di pikiran Aira Cloe Moretz karena seorang Han Yui si gadis pemalas, harus menerka segala isi dari kepala Aira di malam itu.

Mungkin begitulah adanya, Aira hanya akan selalu membuat sebuah pertanyaan menjadi misteri yang akan selalu tidak terungkap. Wanita itu hanya akan diam, atau sengaja tidak ingin membuat Wooyoung kecewa. Lelaki itu mencintai Aira terlalu tulus, sampai di titik ia benar-benar lupa akan dirinya sendiri.

Yui bertengger di salah satu sisi di antara dua rak buku, lebih jauh dari tempatnya memandang Aira. Menelaah di segala sisi sudut kayu yang berongga termakan rayap. Sayup-sayup terdengar, sebuah laron yang beterbangan di antara lampu kuning,  tiba-tiba mengingatkan nya akan rumah San. Singgahan sederhana, yang membuatnya lebih hidup. Tempat dimana ia tertawa tanpa adanya beban. Rasa takut Yui menjadi kenyataan. Di setiap harinya ia menghitung Denting jam, menghitung apakah di jam berikutnya ia masih akan tertawa. Karena sejatinya, ia tau hidup tak akan terus berisi tentang tawa. Tak akan pernah sejalan dengan apa yang ia bayangkan. Yui tau itu, dan ia benci. Namun ia hanya manusia, membuat dosa pun terkadang ia tak sengaja.

~Th£ MiSt~

Di sepertiga malam Choi San masih akan terus membuka mata. Menerka segala kejadian yang akan terjadi setelahnya, lalu apa yang harus ia lakukan setelah itu. Mungkin jawaban yang menjawab semua pertanyaan itu adalah kematian. Mata sayu itu turun, tergenang keringat menetes di ujung bulu mata lentik nya. Tak ada satupun tenaga yang tersisa, tak ada satupun pergerakan yang ia lakukan bahkan nafas selalu bertempo sama.

Tidak dengan beberapa lalat dan laron yang sibuk mengusiknya, berputar-putar seakan memojokkan prajurit kebanggaan seonghwa yang sekarang hanyalah cecunguk lemah yang sudah setara dengan kotoran. Bayangannya sendiri terpantul indah di genangan air di bawah. Wajah nya yang telah penuh akan darah kering itu tengah menatap kosong. Pantulannya yang terlihat menjijikkan.

Ia melihat wajah sang ayah. Tersenyum bangga ke arah nya, lalu tertawa dengan keras. Mungkin hanya lelaki itu yang mendengar sebuah teriakan yang menusuk hingga ke gendang telinga, hanya sebuah fatamorgana di bangunan terbawah gedung Pandora. Ayahnya itu tengah tersenyum jelas di imajinasi terburuk yang Choi San pikirkan.

"PERGILAH!!" teriaknya begitu keras, tangan yang dari tadi sibuk menarik-narik rambut hitamnya tergerak frustasi. Ia begitu ketakutan, hingga luka-luka itu kembali terbuka membuat goresan baru di wajah menawannya.

"HEYY KAU KENAPA!!" teriak satu penjaga yang menatap dengan sorot wajah ketakutan di depan sang maniak Choi San.

San terlihat tak terkontrol lagi, semua penjaga yang mengawasinya terlihat panik. Lalu dengan terpaksa, aliran listrik sengaja di alirkan di besi-besi yang melingkar di seluruh tubuhnya. Dan ia terjatuh, hanya dengan sekali sengatan. Dan siluet hitam kembali datang di mata nya. Melihat seluruh penjaga menertawakan dirinya dari balik jeruji.

"Yu-i"

Satu kalimat itu ia sebut dengan tidak sadar, ketika semua pandangan melemah, hanya ada satu titik cahaya di kegelapan yang merengkuh dirinya. Choi San masih terlentang di rerumputan basah, memeluknya dari belakang sedikit menusuk terasa seperti ujung jarum yang dingin.

Langit seketika berubah, menunjukkan warna jingga di antara kapas putih yang mengepul di udara. Berjalan mengikuti arah angin yang ikut menghembus kan rumput dan rambut hitam nya. Choi San kembali menutup mata, merasakan sebuah bantal hangat yang selalu ia rindukan.

Wanita itu tersenyum, berkerut melingkar di setiap garis senyumnya. Wanita berumur yang eloknya telah termakan usia, namun tetap menawan di mata seorang Choi San. Lelaki itu menangis dalam tawa kecil, mengatakan dalam lubuk hatinya. Ternyata surga itu seindah ini.

"Aku pulang"  ucap san dengan senyum mengembang.

sekali lagi ia menutup mata, merasakan jari jemari keriput itu membelai rambut hitamnya.

"Selamat datang pria kecilku" bisiknya dalam hening

Dengan sekali hembusan nafas, suara itu berubah.

"Aku tak ingin merasakan kehilangan lagi.. kumohon bertahanlah"

Gadis itu menangis tersedu ketika San membuka mata, siluet hitam yang terlihat buram. Yui terduduk di tempat neneknya berada, menggantikan bantal hangat dengan kedua kaki kurusnya. Choi San tau ini hanyalah ilusi semata, ilusi yang Tuhan berikan karena ia tau jika pria ini teramat merindukan senyum menawan itu.

San tau ini hanyalah sebuah bayangan yang tak akan pernah menjadi nyata, bahkan di ambang kematian,  sekali lagi Yui menariknya kembali dari niatan untuk menyerah. San adalah manusia kuat berjiwa lemah, mata tajam itu bisa saja menangis kapan saja karena menyembunyikan tangis itu segampang menarik pelatuk dari pistolnya.

Rasanya begitu berat untuk bangun, tapi dengan sekuat tenaga wajah sembab itu ia raih. Merasakan hangat di setiap tetes air mata. Mereka menangis bersama di Padang rumput basah, di warna hitam yang mengepul di antara mereka.

Mereka adalah jiwa yang rusak, namun selalu berusaha saling membantu untuk terus bertahan hidup.

Tuhan, aku memang seorang pendosa. Tapi meninggalkan dirinya adalah hukuman yang tak bisa kulakukan.

Kalimat itu terdengar di bisikan terdalam seorang Choi San, menetes air mata itu tak henti-hentinya. Namun dengan senyuman yang paling menyakitkan, melihat gadis itu masih menggenggam tangannya dengan erat. Mencegah dirinya, untuk tak menyerah di tengah rasa sakit yang merengkuh tubuh. Di dunia yang selalu menyuruhnya untuk menyerah.

THE MISTWhere stories live. Discover now