PROLOG : AN ORPHANAGE

4.6K 628 69
                                    

Sepuluh.

Salah satu dari banyaknya angka. Terkesan biasa dan hanya deretan angka pelengkap menuju angka berikut. Setidaknya itu tidak berlaku untukku.

Sepuluh, itu usiaku saat ini. Coba aku ingat-ingat apa yang terjadi di tahun usiaku yang berusia sepuluh ini.

Pusing.

Selalu terjadi reaksi negatif setiap aku mengingat kejadian yang berlalu. Aku linglung seperti kehilangan separuh memoriku. Apa aku pernah kecelakaan hingga mengalami semacam amnesia atau hilangnya sebagian ingatan?

Kenangan yang aku punya saling bertabrakan dan berputar tanpa henti seperti video kaset rusak. Memusingkan. Tolong biarkan aku berpikir jernih.

Tak kunjung berhenti, justru sekarang video rusak yang berputar di dalam kepalaku menampilkan seorang wanita. Dia menekuk kedua kaki mensejajarkan tingginya denganku. Tangannya yang lembut, dingin, halus, dan bergetar menggenggam tangan mungilku.

Siapa, ya?

Aku berusia berapa saat itu? Sepuluh, kah? Tapi nampak lebih kecil.

Aku ... Tidak bisa melihat wajahnya. Aku tidak mengingat bagaimana wajah wanita di hadapanku. Yang terlihat jelas hanya bibirnya yang bergerak cepat layaknya seseorang yang sedang mengunyah.

Apa yang wanita itu katakan, ya? Kenapa dia terlihat ketakutan?

Aku tidak ingin mengingatnya. Aku ingin membuang ingatan itu.

Kemudian....

Kemudian aku berjalan. Aku berjalan. Mengenakan sepatu pentofel hitam yang mengkilat, kaos kaki panjang hingga mencapai betis, celana bahan hitam selutut, kemeja putih berlengan panjang yang digulung mencapai siku. Tangan kananku yang berbalut perban putih bergerak bebas mengikuti langkah kaki. Ada noda merah yang menembus perban itu.

Darah? Betadine? Kedua bau itu bercampur di indra penciumanku.

Satu tanganku, yang kiri, digenggam oleh....

Oleh siapa, ya?

Laki-laki yang tubuhnya sangat tinggi. Aku hanya seperut atau sedadanya? Aku tidak begitu yakin. Lebih jelasnya laki-laki yang berjalan di sampingku dan menggandeng tanganku ini sangat tinggi. Aku mendongak untuk melihat wajahnya. Namun hanya guratan hitam yang mencoret sebagian wajahnya itu. Hanya bagian hidung dan bibir yang aku lihat. Itu pun samar tidak begitu jelas.

Aku menyentuh keningku ketika merasa perih. Dan baru menyadari jika bukan hanya tangan yang terbalut perban, kepalaku juga.

Kenapa, ya? Apa yang terjadi denganku?

Sudahlah. Aku tidak peduli. Aku hanya terus melangkah. Sekalipun kedua kakiku mati rasa. Sakit sekali seperti digigit binatang buas atau seperti diinjak atau dijatuhi benda berat, aku tidak lagi memperdulikannya dan berjalan seolah aku baik-baik saja. Pandanganku lurus ke depan.

Ke mana laki-laki itu membawaku?

Tidak, bukan pertanyaan seperti itu. Lebih tepatnya, kenapa laki-laki itu membawaku ke sini?

Aku mengetahui tempat yang terbentang di depanku. Bangunan putih berbentuk simetri dan memiliki denah leter U. Struktur atapnya bersusun, dengan model gedung tinggi dan berpilar. Halaman yang luas memberi kesan kokoh serta megah. Terasnya ditopang dengan delapan pilar. Terdapat tiga pintu masuk dari kayu jati. Arsitekurnya perpaduan empire style dengan alam tropis.

Panti asuhan.

Kenapa aku berada di panti asuhan?

Seorang wanita berdiri di depan pintu panti asuhan menyambut kehadiran kami. Wanita yang sangat ramah dan memiliki aura keibuan. Aku bisa melihat wajahnya dengan jelas.

Wanita itu menyentuh lembut pipiku, mengusap kepalaku. Kemudian beralih menatap laki-laki di sampingku. Mereka mengobrol dengan serius. Aku mendengarkan. Namun aku melupakan setiap inci kalimat yang keluar dari bibir mereka.

Aku menundukkan kepala seraya memikirkan nasibku berdasarkan dari pembicaraan mereka yang beberapa katanya masih jelas terdengar.

Aku akan tinggal di panti asuhan?

Sekarang, aku yatim piatu. Tidak memiliki siapapun lagi.

👑NEXT👑



a/n.

Gimana nih yang udah baca prolognya?

Udah bisa nebak gimana alur ceritanya?

Jangan lupa baca BAB 1 nanti malam

The King : Battle of Imperium SchoolDonde viven las historias. Descúbrelo ahora