BAB 11 : EXECUTION (1)

981 267 122
                                    

Seorang kakak akan melakukan apapun untuk adiknya.

Sebuah pernyataan mutlak yang tidak terbantahkan. Memang terkesan bodoh, tetapi tubuh seorang kakak seolah tercipta dari magnet pendeteksi pelindung untuk adiknya yang jika melihat adiknya dalam bahaya, tubuh sang kakak akan bergerak sendiri untuk menjadi perisai bagi sang adik.

Nataraja yang notabenenya seorang kakak pun diciptakan untuk selalu melindungi Kanyasa. Apapun yang terjadi, dengan cara apapun. Nataraja bersumpah akan selalu ada di samping Kanyasa dan membuat adik kembarnya tersebut bahagia.

Hanya Kanyasa yang Nataraja miliki di dunia ini, begitu pun sebaliknya. Dunia ini kejam kepada mereka si anak kembar, orang dewasa begitu licik dan serakah memanfaatkan mereka untuk kepentingan yang tidak masuk akal.

Ketika orang-orang bertopeng terbalut jas hitam itu menarik Kanyasa darinya, yang terdengar adalah jeritan tangis Kanyasa meminta pertolongan. Kala itu, ia yang memegang peranan sebagai seorang kakak menyerahkan tubuh dan jiwanya untuk iblis-iblis itu, menukarnya dengan keamanan Kanyasa.

"Lakukan apapun padaku! Apapun! Asal... tolong... jangan sakiti Kanya... jangan sentuh Kanya...." Kala itu sang kakak memohon di usianya yang baru enam tahun.

Dirinya sebagai kakak berhasil melindungi Kanyasa. Menggantikan Kanyasa masuk ke dalam neraka. Rasa sakit dan kegilaan yang tidak berprikemanusiaan harus menjadi bayaran yang ditanggungnya.

Sampai rasa sakit sudah tidak berguna lagi dan ia kehilangan emosinya. Psikiater sekalipun bahkan tidak mampu mengembalikan apa yang hilang dari dirinya. Ia terpaksa berpura-pura memiliki perasaan layaknya manusia normal lainnya.

Meskipun Nataraja kehilangan kemanusiaan dalam dirinya, setidaknya ia mampu kembali pada Kanyasa, hidup layaknya manusia normal di tengah kehidupan sosial.

Namun kemunculan orang-orang itu di perpustakaan, pertaruhan, keinginan Kanyasa membawa Floella menjadi sekutunya. Semua itu telah mengganggu ketenangannya. Terutama laki-laki yang tidak memiliki ekspresi di wajahnya.

"Hiro, ya?" tanpa sadar Nataraja menggumamkan namanya.

Meski sedang melamun, pikiran dan jari-jarinya tetap bekerja menerobos pertahanan Palung Mariana yang sangat sulit ditembus. Sudah sejak pagi ia duduk di depan komputer. Dan hanya baru berhasil memecahkan kode di lapis kedua.

Ngomong-ngomong, sosok Hiro memberinya perasaan dejavu. Selain tidak memiliki ekspresi, Hiro juga sama dengannya.

Kehilangan sisi kemanusiaan.

Jika dirinya berpura-pura berperilaku seperti manusia normal, Hiro justru berusaha menghilangkan keberadaannya di tengah manusia lainnya. Alasan keberadaan Hiro yang terkadang tidak disadari orang lain bukan karena Hiro introver yang tidak bersosialisasi, melainkan kehendaknya sendiri untuk menghilang di keramaian dan hanya sebagai pengamat saja.

Pintu kamar yang terketuk membuat jarinya refleks berhenti memencet keyboard komputer. Jam digital di meja belajar menunjukkan pukul dua belas malam.

Siapa yang bertamu selarut ini?

Tanpa merasa takut atau curiga, Nataraja berdiri dari duduk nyamannya. Ia bergerak ke arah asal suara untuk membuka pintu apartemen.

"Kanya?" betapa terkejut dirinya melihat sosok Kanyasa sedang digendong oleh Hiro.

Nataraja keluar kamar mendekati Hiro. Dilihatnya wajah Kanyasa yang terdapat memar di ujung bibirnya. "Kanya kenapa?" Tangan Nataraja bergetar menyentuh ujung bibir Kanyasa.

Tidak akan pernah ia maafkan siapapun yang melukai Kanyasa, akan ia habisi, siapapun.

"Kanya masih hidup. Tenang," Hiro seolah mampu membaca pikiran Nataraja yang kalut hanya karena melihat Kanyasa tak berdaya memejamkan mata dengan meninggalkan memar di wajahnya.

The King : Battle of Imperium SchoolWhere stories live. Discover now