Prolog

129 22 63
                                    


Lihat,  semesta sedang tersenyum dan bangga ketika Sang Merah itu berlenggok dengan moleknya di atas bumi milik kami yang sudah antah-berantah ketenangannya. Ia tidak tahu malu. Padahal bangunan-bangunan gosong itu sudah tidak mampu lagi menahan dosa-dosanya. Mereka runtuh. Perlahan-lahan. Tak akan berhenti sampai cakrawala kembali biru dengan cemerlangnya.

Tanah ini sudah bukan lagi miliknya. Tanah ini sudah hilang sepenuhnya. Kemudian ia berjalan. Bersama kutukan menyedihkan rasa-rasa yang serakah, ia tetap berjalan. Langkahnya tidak jelas. Hatinya resah. Akan masa depan yang sudah gelap, sepasang mata miliknya tetap saja terjaga. Entahlah untuk siapa. Mungkin untuk harapan-harapannya yang sudah mulai runtuh ditelan resah.

Ia berdiri. Pada ujung tebing, lalu tertawa.

“Pada akhirnya, makhluk-makhluk sialan itu cuma bisa mengacau.”

Lalu ia duduk, membiarkan kakinya menggantung diterpa era yang sudah tidak akan bisa bertahan lebih lama.

“Haa ....” Ia mengusap wajahnya gusar. “Semuanya sudah berakhir. Semuanya sudah berakhir.”

Ketika sepasang kakinya berdiri, wajah yang sudah penuh dengan darah itu tersenyum sangat lapang dan tenang sebelum pada akhirnya ia jatuh menggapai kehilangan yang tak terjamah.

“Selamat tinggal semuanya. Aku harap, semesta masih bisa berbaik hati dan mengakhiri semua kekacauan ini.”


---

HALOOOOO, akhirnya aku memutuskan untuk mempublikasikan naskah ini yang sudah lama sekali aku rencanakan.

Sejujurnya rada takut juga untuk mempublikasikan cerita ini, karena untim pertama kali, aku mencoba untuk menulis lintas genre ke FANTASI.

Jadi, maafkan aku jika masih banyak sekali kekurangannya. Saran dan kritikan yang membangun sangat lapang aku terima.

TERIMA KASIH.
HOPE U ALL ENJOY!!!!!!

VOID: Old Town Bataviens DistrictWhere stories live. Discover now