BAB 1: PENGANTAR KEKACAUAN

125 20 199
                                    

Saranjanara, 666

Wanita itu berlari. Wanita itu terus saja berlari meskipun napasnya sudah hampir habis diambil sesosok makhluk bersayap dengan jubah hitam dan tongkat sihir tekepal di dalam genggaman tangannya. Rupanya sudah benar-benar menyerupai malaikat pencabut nyawa yang akan datang menjemput kehidupannya.

Sambil membawa sebuah berkah di dalam dekapannya, lihat, anak laki-lakinya ini walau sedang menangis, tetapi wajahnya begitu cemerlang. Arahnya tersesat. Ia tidak tahu sedang berdiri di tanah milik siapa. Di sepanjang jalan yang ia tapaki, hanya ada hutan untuknya sedikit menyamarkan keberadaan dari kejaran para algojo dengan rindangnya dedaunan dan bebunyian makhluk berisik di dalamnya.

Menakutkan. Menakutkan sebenarnya ketika di kepalanya sudah tidak terlihat lagi jalan untuk pulang. Semuanya gelap. Seakan-akan hari esok saja enggan datang walau untuk tersenyum barang sejenak. Ya. Kepada pasrah-pasrahnya.

"Sial, meskipun kita sudah berhasil membuat satu kakinya terluka, wanita itu masih bisa berlari dengan cepat ternyata," ucap salah seorang algojo dengan perawakan besar dan tinggi. Akan tetapi, wajahnya tidak terlihat.

"Kalian tidak akan pernah bisa menangkapku! Dasar Budak-Budak Kekaisaran," teriak wanita itu.

Yang masih saja berlari walau sepasang kakinya kini sudah tidak sanggup melangkah lagi. Sial. Ini tidak akan selesai-selesai. Pikirnya. Seraya kepalanya tidak pernah berhenti berpikir bagaimana caranya agar ia dan putranya bisa lolos dari kejaran para algojo kekaisaran itu.

Wanita itu, perawakannya teramat berantakan. Sekujur tubuhnya luka-luka. Pakaiannya compang-camping. Nuraninya resah. Nalarnya sedang berada di ambang batas antara pasrah atau tabah.

Akan tetapi, saat langkah kakinya yang tidak tahu itu memijak tanah terakhir dari sebuah tebing, ia terjatuh. Didekap embusan angin bersama putranya yang sedang ia tumpahi doa-doa, semoga saja masa depan yang baik akan memangku anak ini bersamaan dengan daratan terakhir tempatnya mendarat nanti.

Para algojo sedari tadi terbang di atas rindangnya pepohonan yang sedikit mengganggu pandangan mereka untuk menyerang dan melumpuhkan wanita itu kini satu per satu mulai menutup kepakan sayapnya dan kakinya menginjak tanah. Tepat di depan tebing tepat wanita itu terjatuh.

"Sepertinya wanita itu akan benar-benar mati," ucap pemimpin algojo dengan suara beratnya.

"Tapi, Tuan. Wanita itu adalah pengguna sihir ruang. Apa tidak masalahnya jika kita biarkan dia terjatuh begitu saja? Tidakkah dia akan menggunakan sihirnya dan melarikan diri?" seru salah satu anak buahnya.

Pemimpin algojo itu sedikit mengangkat satu sudut bibirnya ke atas. "Tidak mungkin. Dengan keadaannya yang sekarang, wanita itu tidak akan bisa menggunakan secuil mantra pun!"

Sementara ia yang sedang terjatuh bersama putranya semakin menguatkan tekad untuk bisa melososkan diri dan bertahan hidup entah bagaimana pun caranya. Ia tidak boleh membiarkan berkah yang lahir melaluinya jatuh ke tangan yang salah.

"Nak, Ibu akan melindungimu. Meskipun nyawa ibu taruhannya, Ibu akan tetap melindungimu." Sementara putra yang sedang berada di pelukannya tidak ada henti-hentinya menangis.

Kemudian, dengan sisa-sisa energi sihir miliknya, wanita itu mengeluarkan sebuah mantra terakhir yang bisa ia gunakan setidaknya agar pelariannya baik-baik saja. Walau nyawa miliknya menjadi sebuah harga yang harus dikorbankan akibat kekosongan energi sihir, tak apa. Ia sangat baik-baik saja.
Wanita itu mulai mengambil napas panjang seraya memejamkan sepasang mata miliknya. Raga yang sedari tadi pasrah terjatuh di dalam ketidakmampuan, kini kembali melayang perlahan mengudara bersama tekad-tekadnya.

Segerombolan algojo yang hendaknya akan meninggalkan tempat di mana wanita itu akan mati, seketika tertegun saat sebuah entitas sihir perpaduan antara merah dan hitam mengudara menyebarkan aura sihir seperti sebuah gelembung. Tekanannya benar-benar hebat. Bahkan para algojo itu sampai membungkuk karena tidak kuasa menahan entitas sihir yang jauh lebih besar bahkan jika dibandingkan dengan gabungan sihir milik mereka.

"K-komandan ... si-sihir itu ...," ujar salah seorang pasukan terbata.

Ia yang berperawakan besar dan tinggi pun hanya bisa pasrah melihat bagaimana tubuh wanita itu perlahan mulai menghilang di telan ruang.

"Dengan energi sihirnya yang sudah hampir habis, wanita itu memilih nekat dan menggunakan sihir penyintas ruang meskipun ganjarannya adalah nyawanya sendiri."

Namun, wanita itu justru telihat lapang memandangi algojo-algojo yang tidak bisa berbuat apa-apa itu.

"Tunggu saja. Anak ini kelak akan membenarkan kesalahan-kesalahan yang kalian buat dengan sengaja. Tak apa jika aku harus mati di depan kalian. Tetapi, anakku akan mewarisi tekad Zoe. Seseorang yang tidak seharusnya kalian eksekusi."

Lalu, hujan dari semestanya jatuh setetes ketika ia memadangi anak laki-laki yang nantinya tidak akan bisa ia temui lagi.

"Maafkan Ibu, Sayang. Ibu tidak akan bisa melihat bagaimana caramu tumbuh. Semoga kamu kelak menjadi laki-laki hebat dan tampan seperti ayahmu," ujarnya lembut.

Setelah itu, ia mengangkat tangan kanannya ke atas. Selaput gelembung yang sedari tadi kian membesar, kini kembali menyusut seiring dengan tersebutnya mantra yang mengharuskannya segera menghilang.

"Teritory!"

"Kalian, rapalkan semua mantra pertahanan yang kalian bisa. Sial. Wanita jalang itu telah menipu kita. Dia akan benar-benar menyintas ruang sambil meledakkan partikel udara disekitarnya untuk membunuh kita semua!"

Seketika, selaput gelembung berwarna merah kehitaman itu lenyap. Disusul dengan suara bising melengking setelahnya, terjadilah sebuah ledakan dasyat yang berhasil memporak-porandakan sebagian besar wilayah hutan dan membinasakan sebagian algojo yang tidak sempat menggunakan mantra pertahanan.

"Sial. Wanita itu benar-benar sudah gila!"

VOID: Old Town Bataviens DistrictWhere stories live. Discover now