1.3. KARANTINA: BABAK PERTAMA

52 13 133
                                    

Lalu, laki-laki itu terbangun dari tidurnya saat sang fajar saja masih enggan menunjukkan cemerlangnya dan mengembuskan napas panjang. Sementara tubuhnya masih berbaring di atas sebuah kasur beralaskan sprai berwarna cokelat. Setelah upacara pembukaan kemarin, para calon pahlawan dibawa ke dalam sebuah asrama dan diberikan masing-masing satu kamar sebagai tempat bernaung. Ya. Setidaknya hal-hal seperti ini sebanding dengan projeknya yang cukup gila.

Karantina akan dimulai tepat pukul tujuh nanti. Setelah ia lirik jam yang tergantung di dinding, dua jam masih tersisa untuknya bersantai. Ia buka laci yang terletak di samping tempat tidurnya, lalu mengambil satu bungkus rokok beserta pematiknya. Karena di asrama tidak ada larangan untuk merokok, menurutnya itu adalah salah satu kebijakan paling menyenangkan.

Akan tetapi, sebelum ia menyalakannya, laki-laki itu terdiam sejenak memandangi sebuah vas dengan bunga mawar merah yang teletak di atas lacinya. Ia mengernyitkan dahinya. Sementara di kepalanya sedang berputar sebuah pertanyaan dan keyakinan penuh jika saat pertama kali ia tiba di kamar ini, vas bunga tersebut tersimpan persis di ambang bawah jendela tepat di depan tempat tidurnya.

"Duh ... ini cuma perasaanku saja atau emang vas bunga itu kemarin disimpannya di atas ambang jendela, ya?" tanya V kepada dirinya sendiri. Laki-laki itu, lama sekali diam memandangi vas bunga tersebut sebelum pada akhirnya ia bergidik sendiri dan bulu kuduknya merinding.

"Sial! Ternyata hantu itu benar-benar nyata."

Pada akhirnya, laki-laki itu memilih untuk menyimpan kembali rokok dan pematiknya kemudian bersiap untuk mandi dan bersiap-siap. Karena sebentar lagi karantina akan segera dimulai, dan ia mulai merasa tidak nyaman berlama-lama diam di dalam kamarnya sendiri.

***

V berjalan di sepanjang koridor bergaya klasik sambil memegang secarik kertas mencari sebuah ruangan bernama persis seperti apa yang tertulis di atasnya. Sial. Kenapa gedung yang berada di bawah naungan Marduk selalu besar dan memiliki banyak lorong? Rasanya benar-benar merepotkan.

Laki-laki itu mengembuskan napas panjang seraya pandangannya tak pernah lepas dari papan nama yang tergantung pada setiap pintu yang ia lewati ketika berjalan, setelah beberapa menit mencari, pada akhirnya ia berhasil menemukan ruangan bernama 'Gilgamesh' pada lorong ketiga yang ia susuri dan terletak paling ujung.

"Kenapa kelas yang harus kutempati begitu jauh letaknya dari asramaku? Sial. Orang-orang Marduk benar-benar menyebalkan!" ucapnya sambim mendengkus kesal.

"Siapa orang yang kau sebut menyebalkan itu, Pemuda?" lalu seseorang menyahutinya tepat dari arah belakang V berdiri.

Laki-laki itu dengan cepat menolehkan kepalanya ke arah sumber suara. Betapa terkutnya ia ketika sepasang matanya mendapati seorang laki-laki sedang tersenyum kepadanya dengan beberapa carik kertas yang ia genggam di tangannya.

"Kau .... bukannya kau adalah laki-laki yang berbicara pada saat upacara pembukaan?" tanya V dengan suara yang sedikit gelapan.

"Walah, aku rasa aku cukup yakin jika saat itu aku sudah memperkenalkan diri. Apa suaraku kurang jelas?" ucap Riksa sambil menatap V jail.

V memutar bola mata malas. "Ya. Aku mengingatmu. Kau Riksa, Bukan?"

"Riksa?"

"Ya. Lantas kalau bukan Riksa, siapa lagi?"

"Begitukah caramu memanggil orang yang akan melatihmu?" tanya Riksa dengan nada yang mengejek.

"Sial. Kenapa aku harus berlatih dengan orang yang menyebalkan," tukas V.

Akan tetapi, bukannya tersinggung atau bagaimana, Riksa justru malah tertawa dengan gelagat V yang menurutnya sedikit menarik.

"Waduh, sepertinya di kelasku akan ada murid yang nakal. Aku harus benar-benar melatihnya dengan keras," ucap Riksa sambil mengacak-acak rambut V gemas.

VOID: Old Town Bataviens DistrictTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang