1.1. DI T A N A H A N A R K I

75 16 185
                                    

Sebenarnya di kepalanya sedang berbenturan banyak sekali pertanyaan di mana, sebenarnya siapa yang benar-benar patut disalahkan akan kacaunya sistem Semesta? Apa kita? Atau mereka yang hidupnya jauh di tanah tak terjamah di seberang sana?

Ia menggelengkan kepalanya. Melihat bagaimana umat manusia kesulitan dari segi apa pun sebagai tuan tanah, benar-benar membuatnya muak. Bahkan setelah belasan tahun berlalu, kehidupan umat manusia bukannya semakin maju, malah semakin mundur dengan membengkaknya angka kelaparan dan kemiskinan akibat peperangan lintas ras yang tidak tahu malu itu.

Di kota Kembang Parahyangan, umat manusia sedang dibuat gempar oleh isu tentang projek manusia super yang akan diselenggarakan atas kendali Marduk di bawah pengawasan Elit Semesta. Kabar burung itu dengan cepat menyebar luas dari mulut ke mulut masyarakat yang menuai berbagai reaksi antara pro dan kontra.

Sebagian masyarakat Tanah Pasundan khususnya kota Kembang Parahyangan langsung setuju dengan projek tersebut mengingat Semesta membutuhkan kekuatan yang jauh lebih besar hanya untuk sekadar bertahan hidup dari serangan Tiamat. Sedangkan sebagian lainya dengan keras menolak dengan dalih jika umat manusia dipaksa untuk menjadi super, maka hak asasi mereka sebagai makhluk hidup akan terbelenggu dengan adanya kebijakan tersebut.

"Hei Bocah Nakal! Menurutmu, bagaimana tentang projek manusia super itu? Apakah hal itu benar-benar diperlukan? Benar-benar menyebalkan. Bukannya memperbaiki keadaan, para Elit itu justru malah sibuk dengan hal yang tidak masuk akal!" ucap seorang bartender di sebuah bar kumuh sudut kota Kembang Parahyangan.

Siang itu, di dalam bar sedang benar-benar sepi. Hanya ada satu orang pemuda dengan setelan lusuh dan mantel berwarna cokelat tersampir di bahunya. Akan tetapi, pemuda itu justru tidak menjawabnya. Ia hanya meminum segelas alkohol tanpa berbicara sepatah kata pun.

"Dasar Bocah Tengil! Menyesal aku mengajakmu berbicara," serapah bartender itu.

"Entahlah, Paman." Beberapa menit kemudian pemuda itu mengeluarkan suaranya, "Biar saja para Elit Semesta itu berbuat sesukanya."

"Apa kau tertarik jadi manusia super, Bocah?"

"Entahlah."

"Kudengar, mereka yang dengan sukarela mengabdi kepada Marduk, akan difasilitasi dengan fasilitas yang mewah. Kau tertarik?"

"Marduk? Apa itu?"

"Ya ampun, Bocah! Kau bahkan tidak tahu Marduk?"

Pemuda itu hanya menggeleng. "Hidupku terlalu sulit untuk urusan tidak penting seperti itu, Paman."

"Setidaknya, kau harus mengetahui yang satu itu, Bocah. Bahkan anak lima tahun pun tahu apa itu Marduk."

"Aku tidak peduli."

"Yah, kalau kau benar-benar kesulitan untuk hidup, kenapa tidak kau coba saja?"

"Mencoba apa?"

"Menjadi manusia super?"

"Agar aku bisa menyelamatkan Semesta, begitu?"

"Ya? Kenapa tidak? Setidaknya dengan begitu hidupmu akan dinilai lebih bermakna ketimbang jadi sampah  masyarakat. Kerja tidak, mencuri iya. Dasar!"

"Lagian, kalau bukan dengan uang curianku, bar Paman pasti sudah bangkut dari lama."

"Dasar Bajingan!" teriak bartender itu kesal.

Sementara pemdua itu langsung menyimpan dua keping perak dan satu keping perunggu di atas meja lalu pergi begitu saja meninggalkan bartender yang sedang naik pitam gara-gara ejekannya.

"Sial. Mengatai seseorang sampah masyarakat? Apa itu tidak terlalu kasar untuk seukuran bocah berumur 17 tahun?" lalu, pemuda itu tertawa, "Walau memang begitu kenyataannya."

VOID: Old Town Bataviens DistrictWhere stories live. Discover now