B A B 2 : M U A S A L K E K A C A U A N

11 1 12
                                    

Saranjanara 665

Kaki-kaki mereka sangat kuat. Padahal, mereka sudah jauh sekali berjalan. Menyusuri sepanjang hutan yang gelap dan pengap. Sedang kala itu, saranjanara masih diberkahi oleh cahaya matahari. Akan tetapi, hanya sedikit cahaya yang mampu menembus rindangnya dedaunan.

"Aleth, apa kau masih bisa berjalan?" tanya seorang lelaki yang berjalan di depannya.

"Tentu saja. Kau tidak perlu khawatir, Zoe," jawabnya.

"Sebentar lagi. Kalau tidak salah, di tengah hutan terlarang ini adalah sebuah padang rumput dengan bebukitan dan ada satu pohon besar ditengah-tengahnya. Kita akan bersembunyi di sana."

"Jangan khawatirkan aku, Zoe. Aku tidak apa-apa berjalan sedikit lebih lama."

"Jika kau sudah tidak kuat, bilang saja. Nanti, kau akan gendong di sisa-sisa perjalanan."

Setelah kurang lebih menghabiskan setengah hari perjalanan, pada akhirnya Zoe dan Aleth tiba di pinggiran padang rumput dengan keringat yang membasahi sekujur tubuh keduanya.

"Wah, ini di luar ekspektasiku. Kukira ini hanya akan menjadi padang rumput seperti biasanya karena letaknya yang berada di tengah hutan dan tak terjamah oleh bangsa-bangsa Tiamat. Tapi, lihatlah Aleth. Ini benar-benar mengagumkan!" ujar Zoe sambil tangannya menunjuk sebuah pohon besar yang terlihat begitu agung terkena siraman cahaya matahari.

"Kau benar, Zoe. Di sini benar-benar indah!"

"Ayo, Aleth.!"

Tanpa memberi aba-aba, Zoe lantas menggenggam tangan Aleth mengajaknya untuk berlari mengitari hamparan padang rumput. Sepasang manusia itu terlihat begitu diberkahi dengan senyum-senyumnya yang lapang dan indah.

Setelah merasa lelah, akhirnya Zoe dan Aleth menjatuhkan tubuh mereka dan berbaring tepat di bawah rindangnya dedaunan dari satu-satunya pohon besar yang ada di tengah hamparan padang rumput. Sempat hening. Sejenak. Sebelum pada akhirnya Zoe kembali membuka suaranya.

"Aleth."

"Hm?"

"Maafkan aku."

"Maaf? Kenapa minta maaf?"

"Jika bukan karena ulahku, kau tidak akan menjadi seorang pelarian sepertiku. Yang tidak punya rumah untuk menetap, yang tidak punya teman untuk bermain, karena kita dianggap sebagai kejahatan, pada akhirnya, kita berdua harus terus berlari hanya untuk bertahan hidup."

Aleth tersenyum. Indah sekali senyumnya. Sampai-sampai membuat wajah Zoe yang sedang berbaring di sebelahnya tersipu.

"Kan sudah kubilang. Kemana pun kita pergi, asal bersama dengan kau, aku tidak keberatan."

Kemudian, Zoe merubah posisi berbaringnya dan menarik Aleth ke dalam perlukannya.

"Maafkan aku, Aleth. Dan terima kasih."

***

Zoe dan Aleth sama-sama memandangi pohon besar di depannya. Saranjanara sudah gelap. Sedang sepasang manusia itu tidak punya tempat bahkan untuk sekadar beristirahat. Sambil memangku dagunya, Zoe kemudian berpikir bagaimana caranya agar ia dapat membuat sebuah rumah dari pohon besar di depannya. Sampai di kepalanya terlintas sebuah ide, ia menatap Aleth dengan tatapan jail.

"Apa? Kenapa kau menatapku begitu?" tanya Aleth. Ia hanya memiliki firasat buruk saat Zoe sudah menatapnya seperti itu.

"Aku rasa, tidak apa-apa jika menggunakan sedikit kekuatanmu untuk melubangi pohon besar ini."

"Zoe! Apa kau serius?"

"Tentu saja, Aleth."

"Kau tahu risiko jika aku menggunakan kekuatanku, bukan? Sekelompok orang yang mengejar kita pasti akan menemukan kita karena reaksi dari kekuatanku, Zoe!"

VOID: Old Town Bataviens DistrictWhere stories live. Discover now