XXVII - Meluap

5.2K 922 487
                                    

Tertinggal banyak sekali rindu yang tak kupahami keberadaannya. Setelah sekian lama, kenapa masih ada? Bagaimana mungkin bisa?

👑

Elata berdiri rapat ke dinding. Kedua tangannya bertaut di depan, kepalanya menunduk. Sebelah sepatunya terkena lumpur ketika berlari dari parkiran tadi.

"Berani banget lo datang telat?!" teriak Bu Riska. Wajahnya merah padam sampai lubang hidungnya kembang kempis. "Udah merasa senior? Berasa dibutuhin banget jadi seenaknya datang kayak nggak tau aturan, gitu?"

"Maaf, Bu..."

"Gue nggak butuh maaf, lo!"

Elata menunduk, mengikis kutikulanya. "Mama saya—"

"Bodo amat sama nyokap lo. Gue nggak peduli! Bukan cuma lo yang punya masalah! Di sini kita ngomongin profesionalitas. Telat semenit aja potong gaji, lo telat satu jam mau gue potong apanya, hah?!"

Alasan Elata bekerja di tempat ini, karena dengan ijazah SMAnya, hanya di sini ia bisa mendapatkan gaji yang lebih layak. "Saya janji nggak akan ngulanginnya lagi, Bu."

Bu Riska membuka kancing blazernya kasar. "Denger, ya," suara nyaring itu melunak, namun penuh ancaman. "Gue belum selesai sama lo. Anggap aja keberuntungan lo belum habis karena pemilik klub datang malam ini dan gue masih harus ngobrol sama dia. Itu artinya juga nggak boleh ada posisi staff yang kosong. Cepetan ganti baju lo, terus layani tamu. Dan kalo gue jadi lo, gue nggak akan ngelakuin kesalahan sekecil apapun lagi," Bu Riska menatap tubuhnya dari atas ke bawah. "Apalagi mau sok suci. Sekali lagi aja lo bikin salah, nggak akan ada yang bisa halangin gue mecat lo."

Elata segera berlari menuju ruang ganti. Tangannya masih gemetar saat memasukkan lubang kancing kemeja putihnya. Kepalanya masih berputar, pusing dengan denyutan. Ia masih terombang-ambing oleh situasi. Terutama soal Mamanya yang kembali kejang dan hampir tidak bisa diselamatkan tadi.

"Jantungnya tadi sempat berhenti," kalimat itu seperti petir yang menyambarnya. Elata sempat kehilangan arah jika bukan mbak Lia yang memeganginya. "Tapi untung saja pasien masih bisa bertahan. Kondisinya masih dalam pantauan intensif kami."

Dalam ruangan dingin kamar rawat, Elata tidak sanggup melepaskan pandangan dari Mamanya. Dalam hati ia memohon ampun atas segala kesalahan yang pernah dilakukannya. Berharap jika Mamanya akan terus bisa bertahan, bersamanya.

Karena kalo Mama tidak ada, untuk apa lagi Elata menjalani hidupnya.

Ketika keluar dari ruang ganti, sudah ada Adit menunggunya di sana. Cowok itu menatapnya dengan iba. "Dimarahin, ya?"

Elata memaksakan senyum. "Gue yang salah, kok. Ngapain di sini?"

"Cuma mau mastiin lo baik-baik aja. Nyokap gimana?"

"Udah stabil,"

"Nanti pulang gue temenin, ya."

Elata bahkan tidak punya tenaga untuk menolak.

"Sama ini," Adit sedikit ragu mengatakannya. "Lo diminta Bu Riska layani tamu VIP di lantai dua, ruang satu."

Vodess Bar memiliki lantai khusus yang diperuntukan untuk tamu ekslusif. Dengan harga meja yang mencapai dua digit, semua hal yang terjadi di lantai dua terjamin kerahasiaannya. Setiap ruangan terjaga keamanannya dengan ruangan tertutup.

Tentu saja, para tamu juga bebas melakukan apa saja. Dan itu sebabnya Elata tidak menyukai lantai dua.

Elata membawa botol minuman dengan hati-hati menaiki tangga. Setelah sampai di depan pintu bernomor satu, diketuknya pintu perlahan sebelum mengayunkannya terbuka.

The Runaway Princess (TAMAT)Where stories live. Discover now