- 04

670 86 36
                                    

Aku mengetuk-ngetuk papan ujian yang aku gunakan sebagai tumpuan lembar checklist kriteria masuk TAPOPS dengan ujung pulpen rollerball. Aku memerhatikan syarat-syaratnya.

"Cukup umur. Oke. Berintegritas tinggi. Baiklah. Lolos dalam ujian penyaringan EASY A. Sudah. Telah menandatangani surat kontrak wajib militer selama tiga bulan. Beres." Lalu aku memukul-mukulkan pulpen bertinta merah itu ke kolom ketentuan yang terakhir. "Tidak buta warna ..."

Kemudian aku menyimpan papannya di pangkuanku. Aku beralih memerhatikan Arumugam yang kelihatan kebingungan, penasaran, dan gelisah. Daritadi, ia tidak bisa diam. Kakinya bergerak-begerak. Dia berdiri tak tegak. Frekuensi napasnya juga cepat. Kepalanya kadang-kadang menunduk, dan sesekali menengadah atas reaksinya terhadap narasiku. Ia seperti terpidana yang menunggu vonis mati dari hakim ketua di pengadilan negri.

Pupilnya tidak bisa diam. Dia tidak berkonsentrasi.

Aku mengangkat kaki kananku yang tadinya bertumpu di kaki kiriku. Aku duduk dengan normal.

"Bukan hanya buta warna." Kataku. "Tapi kamu buta total."

"Jadi, aku tidak bisa masuk ke pasukan sukarelawan?" Gelisahnya membuncah. Ia bertanya sebab khawatir. Jakunnya naik turun, pertanda emosinya tak stabil. Darisini, aku melihat dadanya kembang kempis dengan cepat.

"Checklist tolol ini ..." Aku mengangkat papannya menjauhi pandanganku, lalu mengipas-ngipaskannya ke muka. Setelah menjeda cukup lama, dan menjadikan Arumugam semakin gemetaran, aku melempar papan checklist itu ke belakang punggungku. "Tidak penting. Akulah Laksamanannya. Aku yang bekeputusan."

"Aku bisa masuk?" Arumugam berseru bahagia, sehingga tubuhnya condong ke depan. Dia menginjak permukaan yang tak landai, makanya ia hampir jatuh jika saja tidak ada LoopBoot. LoopBot menarik lengan atasnya, menahan bobot tubuhnya, dan mencegahnya mencium tanah.

"Hati-hati, Arumugam." LoopBot menasehati.

Arumugam terkekeh canggung, "Makasih banyak."

Aku menepuk jidat, lalu menyeret tanganku ke sekujur muka. Apa yang aku harapkan dari tuna netra ini? Bukankah sebaiknya dia diamankan ke posko evakuasi, bukannya malah menjadi bagian dari resimen galaktik? Kurasa aku menyesali aku telah mengizinkannya ikut serta.

"I see no hope." Aku berbisik rendah sambil geleng-geleng kepala.

"Apa yang melandasi kamu ingin melawan Nebula?" Tanyaku. "Aku ingin tahu."

Arumugam mengulas senyum kecut. Tampak kegetiran di air mukanya.

"Aku hanya ingin membantu galaksi." Katanya. Entah bagaimana aku tahu, ia menyimpan banyak perihal di belakangku. Aku menganga, bersiap membentaknya. Namun mulutku kembali terkatup. Kurasa aku tidak berhak mengatahui apa yang melatarbelakanginya pergi ke sini, mengadu nasib di Gur'latan berbekal keberanian dan dendam—aku melihat substansi ini di matanya.

"Apa persisnya jenis kekuatan cahayamu?" Aku kembali mewawancarainya.

Gelagat Arumugam berubah jadi lebih tenang, "aku sendiri tidak tahu, Laksamana. Aku juga ingin menggali potensi itu di sini."

Aku mempelajarinya baik-baik. Orang ini nggak pandai berbohong. Dan ia memiliki kenaifan yang absolut. Ketika ia mencoba berdusta, Arumugam akan kelihatan tidak natural. Sebaliknya, jika Arumugam bicara jujur, ia berorientasi bicara dengan trankuil.

"Laksamana?" Arumugam memanggilku dari dunia lamunan. Aku terkesiap.

"Apa?" Aku mendongak.

"Aku mohon, tolong bantu aku ..." Ia berkata lirih. Nadanya menunjukkan, bahwa ia terluka. "Aku ingin membunuh Nebula."

Boboiboy x Reader | Alternate Route of SupeheroWhere stories live. Discover now