- 17

273 61 34
                                    

Pemandangan ini janggal. Sosok cewek pongah berkepribadian angkuh, mau menang sendiri, percaya dirinya setinggi Eiffel, dan mukanya menyebalkan menatapku tak suka. Sejujurnya dia cantik. Dahinya tertutup oleh anak rambut—poni yang tak beraturan, dan berakhir di bawah alis, matanya mengantuk entah karena ia sedang meremehkan aku atau memang begitulah konstruksi wajahnya, pupilnya mengkilap dan besar, hidungnya panjang, bibirnya merah muda, seperti manusia pada umumnya. Bulu matanya lentik, panjang, dan bengkok ke atas, seperti hasil cangkok. Tatapannya sayu, penuh arti, dan terasa menjengkelkan luar biasa.

Ia berpakaian seperti selayaknya agen TAPOPS yang dilepaskerjakan. Tak muluk-muluk. Tapi karena tubuh cewek itu ramping, dia jadi kelihatan trendi. Dia juga mengenakan sepatu modis berupa heels yang di bagian belakangnya, dililitkan pita sampai ke setengah lutut. Aku tahu dimana ia membelinya, berapa sizenya, dan kenapa lanyardnya agak kendur. Aku tahu segalanya mengenai si cewek. Aku tahu mengapa ia mencatok rambutnya curly, aku tahu kenapa ia mempadupadankan celana cutbray dan mantel panjang, serta memakai baret seperti pelukis Paris. Aku tahu selera fashionnya.

Sejauh pengamatanku, aku memiliki kesemua pakaian beserta perintilan yang digunakannya.

Dia juga memerhatikan aku, menyelidiki aku seperti polisi memindai penampilan pencuri ayam. Dagunya terkatup. Ia tak jadi berkomentar. 

"Wow." Setelah lima belas menit melamuni aku, menatapku sambil menilai, dia akhirnya angkat bicara. Tangannya diletakkannya di dagu, dan ia menggeleng-gelengkan kepala. "This plain cotton gauze pants, ai nggak kebayang jadinya bakal bagus banget kalo dipasangkan dengan atasan sailor vest. Lulumary emang oke banget!"

Aku menarik kesimpulan, cewek itu agak sinting, atau memang amat sinting. Sebab saat ia datang kemari dengan kepentingan hendak ikut-serta ke jejeran tentara galaktik, (Nama) Dunia Lain malah berkomentar soal fashion di tubuhku.

Aku menarik senyum, "Benar, 'kan?! Nggak heran Paris jadi pusat fashion dunia! Mana beli-belian di PFShops tuh harganya udah exclude pajak. Delivnya bisa pake chronopost pula."

(Nama) Dunia Lain menunjuk-nunjuk wajahku, penuh semangat, "Right, Girl. You asik banget. You bakal ai temenin."

Namun ekspresiku berubah. Aku maju, dan membisikkan beberapa hal ke telinganya (Nama) Dunia Lain, "I know you're such a woman if cult. But lemme know, you beneran udah kawin?"

(Nama) Dunia Lain sontak mundur, dan ia kelihatan gelagapan, "I-iya."

"Dengan Boboiboy? Orang yang you cacimaki padahal udah jadi mayat?" Aku mengerutkan dahi. "Nggak ada cowok lain? Kaizo misalnya? Empat puluh tiga mantan you? Cowok di kampus you? Cowok di tongkrongan dugem you? Cowok yang katanya ngantri buat kenalan sama you? Or else?" Aku meminta kejelasan. Sepeti kata LoopBot, Boboiboy tidak buta di timeline lain, dan artinya (Nama) Dunia Lain tidak perlu bertanggungjawab. Tapi kenapa mereka ...

Aku heran. Boboiboy orangnya manis sekali, kayak gula, bahkan lebih. Sepengetahuanku, aku seorang berandal kelas kakap. Tapi ... aku bisa berkenalan dengan siapa saja di H Club hanya dengan duduk dan nyetor komuk ke depan podium Disc Jockey. Aku pandai bertutur-kata, prosa manis di lidahku bagaikan silat lidah interaktif; aku mampu kenal, dekat, dan pacaran dalam waktu singkat. Karena aku mudah beradaptasi, menyesuaikan diri. Aku punya banyak pilihan. Tapi kenapa, di antara banyaknya pilihan-pilihan itu, aku berakhir menikahi mantan mayat di Rimbara? Terdengar tidak masuk akal. Sebab aku dan anaknya Pak Amato terlalu berbeda.

Aku menginajinasikan apabila aku dan Boboiboy kenal sejak dulu, dan kami bekerja berdamping-dampingan selayaknya tim. Aku menebak, hubungan kami akan kaku. Aku tak mendiskriminasi siapapun dalam pertemanan, tapi aku hanya bicara pada seseorang yang mengerti. Kurasa aku bakalan lebih sering menempel dengan Sai ketimbang Boboiboy. Meskipun bermuka jutek dan kadang menyebalkan, Sai tak punya gagasan-gagasan superhero berasas keadilan di otaknya. Sungguh. Boboiboy kelewat polos, pahlawanisme dalam dirinya terlampau tinggi, dan aku tak menyukainya.

Boboiboy x Reader | Alternate Route of SupeheroWhere stories live. Discover now