- 10

338 71 21
                                    

Setelan baju ala Timur Tengah ala-ala janda Firaun yang dimodernkan pada Paris Fashion Week tahun dua ribu delapan belas tertumpuk menutupi lipatan mantel kulitku di lemari itu. Aku pusing. Aku mengemasi pakaian-pakaianku. Aku memasukan jaket Brigez, kaos polosan bekas nonton konser Kokobop, kaos sablon bergambar huruf A terbalik bak ulti Nolan—baju sekte kriptonya Timonthy Ronald, dan baju-baju remaja edgy buat nongkrong di coffee shop sambil bahas tetangga poligami.

Aku melirik kardus yang aku gunakan untuk mengepak. Aku telah memenuhi lima kardus dengan fabrik-fabrik beserta aksesorinya. Aku terlalu banyak membeli baju, dan capsule wardrobe ini berantakan sekali. Aku cemberut.

Gampang badmood ialah sebuah bakat yang merepotkan. Padahal setelah bangun tidur, aku berniat menyibukkan diri untuk menyingkirkan segala memori mengenai bencana raya tempo hari. Aku nggak mau ingat apa-apa! Aku cuma mau hilang dari alam semesta ini.

Aku menenggerkan tanganku di kardus terakhir yang kupunya. Selain baju, koleksi tas selempang juga bikin ribet pengemasannya. Aku melirik ke salah satu tas bepergianku. Aku mengelus permukaannya. Halus. Strap hardwarenya semulus kulit tanganku. Tapi burnished edgesnya lecet-lecet karena aku membawanya pergi ke planet Quabaq. Di sana, selalu ada angin pembawa es dadakan. Aku enggak sengaja menjatuhkan tasnya ke tepi jurang, dan mencacatkan embossed leathernya serta melukai sedikit tali pegangannya. Betapa naasnya. Padahal ini hadiah ulang tahunku. Pemberian Papi, dua tahun silam.

Aku menganggap barang-barang ini begitu penting. Aku tidak bisa membuang satu pun dari mereka!

Tadinya aku mau memilah-milah barangku. Berhubung pesawat luar angkasaku hendak direparasi oleh tim bengkel, aku ingin mengevakuasi produk-produk fashionku di dalamnya, sekalian membuang baju ketinggalan zaman ke stasiun daur ulang—dan sebetulnya, tujuan utamaku ialah menghindari bertemu siapapun di stasiun TAPOPS karena mereka akan mengungkit peristiwa kemarin.

Tapi aku enggak bisa membuang satu pun di antara barang-barang mahal ini. Karena—pertama—mereka mahal dan kedua, mereka sangat mahal, dan cantik.

"Pek pek pek."

Aku hampir menjatuhkan tas mahalku ke dalam kardus. Untungnya, aku memeluknya cukup erat. Aku menoleh ke sekeliling, dan mencari sumber suara. Aku cukup yakin aku baru saja mendengar suara seekor ayam. Aku menyimpan tasku ke kardus—dengan hati-hati, dan cantik, lalu aku berdiri, kemudian menyusuri bagian kokpit.

Tibalah saat dimana mulutku menganga setelah aku menyibak pintu geser menuju ruangan penyimpanan makanan kalengan.

Kaleng-kaleng berlabel 'low sodium' berjatuh-jatuhan dari rak dryer. Sayur kalengan yang dibumbui cabai jalapenos seperti pada produk S&W jatuh menggelinding ke ujung sepatuku. Aku memungutnya. Bagian tutupnya telah terkoyak. Bahkan potongan paprika dengan pewarna allura red mencuat keluar dari gulungan penutupnya.

Bahkan tausi kaleng tergeletak di lantai pesawat, karena ulah ayam albino dengan paruh belepotan saus tomat pada bumbu ikan sarden!

"Alodia?" Aku mengernyit. Itu makanan-makanan diet sehatku. Dia mencicipi makanan-makanan sehatku—aku tidak hipertensi, jadi ahli gizi sewaanku memperbolehkan aku mengonsumsi makanan dengan kadar gula tinggi. Lagi pula, aku membutuhkan serat dan nutrisi lain dari makanan golongan itu.

Aku menangkap ayam nakal punyanya si Blaze dengan segenap kemarahan di dada.

"Nakal! Siapa yang ngajarin kamu kayak gitu!" Aku mengguncangkan Alodia di udara. "Pasti bapak kamu, ya! Awas aja, gue laporin lo, mampus."

Tidak ada yang mengajak ayam sialan ini ikut ke stasiun TAPOPS. Sebaiknya dia tinggal di Rimbara saja dan menjadi ayam yang normal-normal saja. Tapi kenapa dia ikut? Darimana Alodia masuk.

Boboiboy x Reader | Alternate Route of SupeheroWhere stories live. Discover now