- 19

389 76 45
                                    

Papi tidak senang dengan Boboiboy, sejak Duri mengaku ia mengajakku kawin lari.

Boboiboy tidak suka berlama-lama berada di keadaan canggung. Pada akhirnya, seorang pecahan yang paling dewasa di antara mereka, kembali maju untuk menghadap Papi di ruangannya. Tanah.

Aku tidak berani ikutan masuk. Sudah aku bilang. Papi orangnya kalem, enggak galak, tapi kini Papi marah—artinya, perkara ini amat menyinggungnya.

Aku menunggu di depan ruangannya Papi. Aku menunggu Tanah keluar dari pintu itu, dan mengabarkan berita baik; kami harap, Papi menganugerahi restu, supaya—kata Blaze—dia bisa masuk ke kamarku tanpa takut kepergok Papi.

Tanah keluar tak lama kemudian.

"Laksamana?" Tanah mengangkat tangannya, dan aku menangkap tangan itu.

"Aku ada di sini." Kataku.

"Papi menyuruh kita masuk berdua." Tanah memberitakan. Loh. Sebetulnya, aku ogah. Aku enggak mau diikutsertakan. Pokoknya, aku mau cuci tangan dari masalah ini, dan tak turut dimarahi Papi. Aku maunya berperan sebagai korban yang terzolimi karena Boboiboy meminta kawin paksa, dan aku tak punya pilihan lain selain mengiyakannya, sebab aku merasa bertanggungjawab atas kebutaannya.

Tapi karena tidak punya opsi kabur, aku menurut. Aku dan Tanah bergantian masuk ke ruangannya Papi, dimana Papi sedang duduk di kursi keramatnya. Mejanya berantakan sekali, penuh akan resume dan manuskrip digital, terlebih sejak (Nama) Dunia Lain pulang dengan hasil nihil karena Nebula tak ditemukan koordinatnya, dan Sai malah mengonfirmasi keberadaan Nebula lainnya di dekat kawasan H-II berdasar pengamatan teleskop inframerah di satelit buatan TAPOPS.

"(Nama)." Papi menumpukan dagu di kedua tangannya. Dia melihatku seperti hilang harapan, tapi Papi menghela napas berusaha tegar. "Aku tidak tega memarahimu. Aku bukan Pak Amato. Aku bahkan membiarkan kamu tumbuh besar tanpa bisa menyetrika pakaianmu sendiri."

Aku bisa. Itu keterampilan dasar kehidupan di zaman ini. Aku bisa, aku hanya tidak mempraktikannya. Tentu saja. Aku selebriti kecantikan. Aku juga mahasiswa supersibuk karena aku mengikuti organisasi paguyuban buatan para alumnus dan banyak kegiatan amal di fakultas. Aku superhero TAPOPS. Aku ketua klub basket di UKM kampusku. Aku sibuk! Pokoknya aku sibuk! Aku perlu dibantu.

Papi mengusap wajahnya. Dia marah. Padaku.

"Aku marah karena, kupikir, Boboiboy enggak bisa jaga kamu sebaik laki-laki yang memiliki pengelihatannya." Papi mengaku. Aku kontan melirik Tanah. Tanah hanya memejamkan mata, mencoba tabah menerima sindiran Papi, karena bagaimana pun, inilah satu-satunya cara untuk memperoleh izinnya. "Tapi ketika Tanah bicara, aku yakin tekadnya kuat. Aku telah salah menilai."

Papi menerbitkan senyum.

Aku pun terkejut. Hey? Apa kiprah-kiprah politiknya bagus sekali? Si Tanah ini, berhasil meluluhkan hati mertuanya? Aku rasa begitu! Papi tidak semeledak-ledak kemarin. Papi kembali menjadi lembut dalam berlisan, tenang karena napasnya panjang-panjang, dan ekspresif.

"Tekad anaknya Pak Amato itu kuat. Dia juga bertanggungjawab sekali." Papi menyebutkan satu per satu pujiannya terhadap Tanah. Tadinya aku menyuruh Cahaya untuk mewajahi Papi, dan meminta maaf lagi. Tapi muka Cahaya terlihat tidak menyakinkan. Makanya aku merombak rencana, dan menyiapkan Tanah untuk berdiplomasi. "Dia janji dia akan menjaga putriku. Baiklah."

Wah. Aku tidak mengira, hasilnya akan bagus seinstan ini.

"Tanah bilang dia juga mau mengurusmu sebaik aku membesarkanmu." Papi menyilang tangan. "Kuharap itu bukan cuma kata-kata, Tanah."

Boboiboy x Reader | Alternate Route of SupeheroWhere stories live. Discover now