- 20

341 68 59
                                    

Ini terlalu aneh. Ada tiga Nebula. Sebetulnya bukan aneh, tapi mengerikan. Entah seberapa parah kerusakan alam semesta akibat ulahnya trio racun Nebula itu.

Aku memerhatikan mesin garapanku di lab. Aku hanya dapat membasmi satu Nebula dengan mesinnya di lempeng besi Mechabot, dan (Nama) Dunia Lain juga begitu, lalu siapa yang akan memberantas satunya?

Andai saja, Cahaya bisa memperoleh tahap tiganya. Meskipun itu bukan jaminan kemenangan, tentu saja aku akan terbantu.

"Aish. Cukup, Tuhan, cukup. Cinderella sudah lelah." Aku meletakkan tangan di jidat, dan merendahkan posisi tubuhku secara lunglai.

"Laksamana? Kamu kenapa?" Angin datang dari arah pintu masuk.

"Loh!" Aku menudingnya. "Tampilanmu berbeda. Kamu lebih ganteng. Ini Taufan, ya?"

Akhir-akhir ini, badanku lemes, mataku berkunang-kunang, tenggorokanku sakit, kata dokter sih aku keracunan wajah manis tujuh orang yang mengajakku kawin lari. Ini salah satu penyebab utamanya. Dia—kurasa—Taufan.

Laki-laki manis itu datang mendekat padaku. Ia menatapku dengan khawatir. Matanya biru, tapi tak berfungsi.

"Tadi katanya mau mandi?" Aku mengulum senyum canggung kala Taufan berada begitu dekat dengan mesin kriogenku di meja eksperimen. Dia menyentuhnya, dan segera menarik tangannya ketika dia merasakan dingin menjalar melalui ujung jarinya, dan nyaris membekukan jaringan tubuhnya. Mesinnya mati. Tapi karena aku baru saja memakainya, nitrogen belum berhenti keluar dari pori-pori penyaringnya.

"Aku udah mandi." Taufan membela diri.

Aku mengernyit. Jangan-jangan, dia enggak mandi. Aku tak mewajibkannya mandi. Mandi atau tidak, Boboiboy tetap manis. Tapi, yah, aku ingin orang-orang itu disiplin. Terutama Taufan, Blaze, dan Duri.

"Bohong." Aku menuduhnya seraya menonton Taufan membungkuk pada mejanya, dan membisu sejenak. Ia melamun.

Lalu Taufan pergi ke arahku. Dari dekat, dia terlihat makin manis. Mata biru tuanya menyiratkan banyak hal. Ekspresinya tengil, kayak Kancil. Dia tengil dan licik. Apakah Taufan memang begini?

Karena aku duduk di sofa, dan tubuh Taufan tinggi, aku jadi perlu mendongak. Ada apa gerangan Taufan pergi ke laboratorium mesin? Bukankah dia semestinya mandi dengan sabun bayi yang aku pesankan?

"Aku udah mandi, (Nama)." Katanya, mengulang pembelaan. Nadanya berayun, dan aku cukup tak terbiasa ketika Boboboy mulai ceplas-ceplos memanggilku dengan namaku. Biasanya mereka menyebut aku sebagai 'Laksmana'.

Nada itu playful sekali. Kurasa gara-gara dia sudah berhasil menikahi aku, dia jadi lebih berani. Ayolah. Sebelumnya, ketika bicara padaku, ketujuhnya selalu gugup. Mereka berkali-kali tersendat dalam bicara bahkan ketika aku mengajaknya mengobrol di luar kepentingan TAPOPS dan persoalan-persoalannya. Termasuk Solar, sosok yang semestinya paling pandai berinteraksi dengan para gadis. Tapi tidak. Mereka malu-malu.

"Bohong. Aku enggak liat." Kataku. Aku kepleset saat bicara. Tentu saja aku tidak melihat, karena aku tidak ikut masuk ke kamar mandi ketika Taufan membersihkan diri.

"Udah mandi. Kalau enggak percaya, cium aja." Taufan nyeletuk. Senyumnya masih terpatri di wajahnya dengan elok dan solid. Ia tak ragu untuk menggodaku.

Aku tak benar-benar berencana menciumnya. Aku hanya mencondongkan badan, dan mengendus aromanya. Tidak mandi atau mandi, tidak akan bisa dibedakan secara visual. Mereka tetep ganteng bila mandi maupun tidak.

Boboiboy x Reader | Alternate Route of SupeheroWhere stories live. Discover now