BAB DUA PULUH

868 241 8
                                    

Norah berjalan perlahan-lahan kembali ke sudut tempat ia tertidur tadi sore untuk mengambil tasnya. Setiap langkahnya menjadi sangat sulit karena kakinya terasa begitu sakit. Ia memarahi dirinya sendiri dan baru saja akan menunduk mengambil tasnya ketika ruangan fitnes menjadi gelap.

Norah menegakkan kembali tubuhnya dan berbalik untuk melihat kegelapan disekitarnya. "Mati lampu, sial," gumamnya.

Ia baru saja akan merogoh handphone-nya dan menyalakan flashlight, tapi tidak menemukannya di dalam saku celana. Norah mengerutkan dahinya dan berusaha untuk tidak panik. "Handphone-ku...."

Norah lalu mengingat dimana ia menyimpan handphone-nya. Sebelum ia berbicara dengan Ares dan mendekati treadmill, Norah menaruh handphone-nya di dekat alat chest trainer. Namun sekarang ia tidak tahu kemana arah ia harus berjalan karena ruangan fitnes Crimson High begitu gelap. Norah juga baru menyadari karena ruangan fitnes berada di dalam bagian lapangan stadion kampus Harvard, semua ruangan tidak ada jendela sehingga tidak ada cahaya yang meneranginya sedikitpun.

Norah menarik napasnya, tapi ia merasa seakan-akan dadanya ditekan oleh sesuatu yang berat dan bernapas menjadi hal yang sangat sulit baginya. "Norah, ini hanya kegelapan," bisiknya. Sekali lagi Norah memarahi dirinya sendiri.

"Kamu seharusnya terbiasa, kamu sudah duduk bertahun-tahun di dalam lemari kecil itu."

Norah mencoba untuk berjalan kembali ke arah chest trainer dan mengambil handphone-nya. Semakin ia melangkah ke dalam kegelapan, semakin ia tidak tahu apa ia mendekati alat latihan untuk bagian dada itu atau menjauhinya. Norah berputar dan melangkah mundur dan berpikir ia telah sampai. Hal berikutnya yang terjadi adalah ia terpeleset alat angkat beban dan terjatuh kembali untuk kedua kalinya hari itu.

Ia berteriak kesakitan dan memegang kakinya yang sekarang terkilir lagi. Norah menutup mulutnya untuk menahan teriakannya dan ia menangis setelah itu. Air matanya mengalir karena ia begitu takut.

Ia benci kegelapan.

Ia sangat benci kegelapan.

Norah menyerah dan sekarang memeluk dirinya sendiri karena ia terlalu takut. Kedua pahanya sekarang berada di dadanya dan kedua tangannya menutup telinganya. Suara-suara itu kembali terdengar olehnya dan ia harus menghentikannya.

"Tutup telingamu Norah, jangan dengarkan apa yang terjadi diluar sana...."

"Eomma...."

"Jangan keluar kalau aku belum membuka pintu lemari ini...."

"Aku taku...."

"Jangan bersuara...."

"Eomma, jangan...."

"Kamu aman di dalam lemari ini...."

"Terlalu gelap di dalam sini, Eomma...."

Norah memegang kedua sisi telinganya dan mencoba untuk tidak membayangkan suara-suara itu. Suara-suara yang ia telah dengar seumur hidupnya. Suara-suara yang membuatnya sangat takut akan kegelapan.

"Please...." bisik Norah tapi tidak ada yang mendengarkannya. "Aku takut."

"Norah?"

Norah berpikir dirinya sudah gila ketika mendengar suara itu.

"Norah?"

Mungkin ia sekarang sedang berhalusinasi, pikirnya.

"Norah!"

Norah membuka matanya dan menyadari kalau lampu telah kembali menyala. Ia terkejut ketika ia dapat melihat mata biru itu menatapnya sekarang dengan khawatir dan berkata lagi, "Norah? Kamu mendengarku?"

Norah menurunkan kedua tangannya yang menutupi telinga dan suara dalam pria itu semakin terdengar, "Norah, jawab aku! Apa kamu baik-baik saja?"

"..."

"..."

"Norah, apa kamu takut akan kegelapan?"

"..."

"..."

Pria itu adalah orang pertama di dunia ini yang menanyakan hal itu kepadanya dan Norah merasa sangat malu akan kelemahan terbesarnya.

Shall We Dance? | CAMPUS #03Where stories live. Discover now