Chapter 1 - Pulau Nieffe

2.6K 96 13
                                    

Musim gugur telah tiba. Daun kering berjatuhan. Halaman dan taman-taman di lingkungan Gerald University penuh dengan daun-daun yang kehilangan sendi kehidupannnya.

Seperti tahun-tahun sebelumnya, musim gugur selalu jadi musim yang paling dinantikan sebagian pelajar Gerald University. Sudah menjadi sebuah ritual yang turun-temurun, di mana pelajar tahun ketiga bebas menyelenggarakan kegiatan outdoor sesuai yang mereka inginkan. Tapi dari kegiatan-kegitan outdoor itu, berkemah masih menjadi jawara selama 12 tahun berturut-turut. Mereka biasa mengadakan perkemahan di Pulau Nieffe, sebuah pulau kosong yang luasnya tidak lebih dari 50 hektare. Pulau itu terletak di sebelah barat Inggris.

Selain terkenal dengan pemandangannya yang indah, ombak di pantainya juga cukup digemari wisatawan. Tapi beberapa tahun belakangan Pulau Nieffe semakin sepi pengunjung. Itu karena beberapa perusahaan penyewaan kapal yang menuju ke sana jumlahnya semakin sedikit dikarenakan bangkrut. Wajar saja jika beberapa hewan liar terkadang melintas di pulau itu.

Aku memutuskan bergabung dalam kegiatan perkemahan setelah sebelumnya menolak mentah-mentah ajakan Jerry untuk ikut serta dalam kegiatan itu. Sejujurnya aku tidak terlalu suka liburan. Tapi Jerry terus saja memohon padaku. Dan aku paling benci dengan permohonan karena aku tidak pernah bisa menolaknya. Terlebih Jerry, sahabat baikku sejak 15 tahun lalu.

Pukul 02.15 sore aku beserta rombongan kemah tiba di Pulau Nieffe.

Setiba di sana kami segera mendirikan tenda di sepanjang garis pantai

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Setiba di sana kami segera mendirikan tenda di sepanjang garis pantai. Setahuku biasanya kegiatan ini akan berlangsung selama satu minggu.

"Ombak pantai di sini lumayan juga, Jun! Aku tidak sabar untuk berselancar," kata Jerry sambil menyeringai padaku. Dipeluknya sebuah papan selancar berwarna biru. Rambut kuning sebahunya berkibar tertiup angin pantai saat mata hijaunya memandang luas ke laut. Ia berdiri dengan gayanya yang-ia pikir-mirip Brad Pitt. Sayangnya itu malah membuatku terkikik geli. Ia hanya mengenakan celana pantai selutut sementara bagian tubuh lain terekspos dengan bebas. Yah, harus kuakui tubuhnya sedikit atletis karena akhir-akhir ini Jerry memang sering melatih otot tubuhnya. Kau berhasil juga rupanya, Jerry.

"Sayang, kau harus buat tenda dulu sebelum berselancar," sahut Whitney, kekasih Jerry yang sejak tadi menatap kami berdua dengan tatapan aneh. Ia menghampiri Jerry dan menyerobot lengan pria itu sambil merajuk manja.

"Ahhh... Nanti saja. Ayo kita berselancar, Juney!" ajak Jerry padaku. Ia tidak mengacuhkan Whitney dan malah menggandeng tanganku.

"Hey! Aku tidak mau! Lihatlah, Whitney, kenapa kau abaikan?!" bentaku pada Jerry seraya menyentak genggamannya.

"Tenang saja, Whitney, aku tidak berniat merebutnya." Aku melirik Jerry sebentar lalu membuang pandanganku ke laut. Aku melenggang kesal meninggalkan mereka berdua yang tampak kaget dengan jawabanku.

Aku membuat tenda dengan ditemani Maureen, mahasiswa tuna netra dari jurusan seni rupa. Ia tampak tenang menungguku menyelesaikan tenda.

"Bagaimana pemandangan di sini, Jun?"

Aku menatap wajah Maureen. Ada perasaan pilu mendengarnya bertanya itu.

"Tampak biasa saja," jawabku singkat. Berbohong. Nyatanya pemandangan yang kulihat sangat menakjubkan. Pohon-pohon kelapa melambai ditemani dendang ombak yang menggulung ke arah pantai. Pasir yang putih bersih tersapu ke tepian dengan lembut. Kau dapat melihat ada tebing-tebing tidak terlalu tinggi di ujung pantai. Kontur pantai di sini memang agak aneh. Sebagian datar, dan sebagian lagi curam sampai-sampai terlihat cukup mengerikan. Tapi disitulah daya tariknya.

"Untunglah aku tidak bisa melihatnya. Mungkin aku akan menyesal datang ke sini," kata Maureen memilukan. Aku hanya tersenyum getir sambil menatap rambut hitamnya yang berkilau di bawah sinar matahari.

Menjelang sore...

"Maureen, kau tunggu di sini ya... Aku harus mencari kayu bakar untuk api unggun nanti malam."

"Kau meninggalkanku sendiri? Juney, apa kau sudah gila?!" tanyanya cemas.

"Whitney, Stefan, dan Jerry masih di sini. Mereka tidak ikut ke hutan. Lagi pula ini kan ramai, Maureen. Apa yang kau takutkan?"

"Baiklah. Ingat Juney, di hutan banyak hewan liar. Bawalah senjata tajam."

"Tenang, Maureen. Aku bisa menjaga diriku."

"Perasaanku tidak enak," lanjutnya lagi.

Aku diam sejenak. Sekelebatan rasa takut menghampiri hatiku.
Kami berlima: aku, Bill, Bolton, Ricky, dan Margarett pergi mencari kayu bakar di hutan. Bill, Bolton, dan Ricky berpencar. Aku dan Margarett bersama mencari kayu bakar di dekat sungai.

"Juney, kau sudah dapat berapa banyak?" tanya Margarett padaku.

"Baru sedikit..." jawabku cepat tanpa menoleh ke arahnya.

Aku terus mencari dan mencari. Tanpa terasa aku salah mengambil jalan. Aku tidak lagi melihat Margarett di belakangku. Aku memanggil-manggil namanya. Tapi yang terdengar hanya siulan hummingbird dan jangkrik-jangkrik yang berbunyi seperti jalanan di pusat kota ketika pagi hari. Aku kembali menelusuri jejak kakiku sendiri. Tapi kemudian hilang begitu saja di tempat yang kukira sebuah persimpangan kecil. Di saat itulah aku yakin bahwa aku benar-benar tersesat.

Aku duduk di atas sebuah batu untuk beristirahat sebentar sambil berpikir arah mana yang kulewati sebelumnya. Tapi sama sekali aku tidak mengingatnya. Semua terasa sama dan membingungkan. Aku kembali memijit kening dan tertunduk hampir tanpa harapan.

Tiba-tiba terdengar gemerisik semak-semak. Aku menatap lekat rumput setinggi dada yang bergerak-gerak itu. Aku bergidik. Perlahan aku mendekat sambil bersiap menodongkan sebilah pisau yang kubawa jika bunyi itu adalah hewan buas. Muncul seorang pria berkaos coklat dari semak-semak itu. Aku kaget bukan kepalang. Pria itu mendekat sementara pisauku masih terhunus.

***bersambung***

The Protecting Blood Where stories live. Discover now