Chapter 22 - Tragedi (2)

473 19 0
                                    

Selamat Membaca! :D

***

Mataku menangkap sesuatu yang bergerak ke dalam rumah. Seekor kucing hitam berlari masuk halaman. Aku..ingat..sesuatu.. Aku berlari secepat mungkin, tidak mempedulikan Charly yang heran karena aku bahkan tidak mengucapkan sepatah kata alih-alih berterima kasih atas pertolongannya.

Mataku berkaca selagi aku berlari. Apa yang kulihat menjadi buram tertutupi lapisan bening air mata. Aku tiba di sana dan melihat Whitney yang beruntungnya masih bernapas. Dengan susah payah ia menatapku dan mencoba berbicara. Napasnya tersengal-sengal. Di sekitarnya menggenang darah segar yang masih terus keluar dari tubuhnya. Ia terlihat sangat kacau dengan darah-darah itu.

"Bisakah.. kau.. selamatkan.. aku.. Jun?" tanyanya terbata.

Air mataku jatuh tertarik gravitasi bumi. Aku mengangguk sedih seraya meraih tangannya. "Aku akan menyelamatkanmu, Whitney!" Aku berlari ke ruang tengah. Kuhubungi nomor telepon ambulans. Seseorang menjawab. Aku belum sempat menceritakan apa yang terjadi pada orang di seberang telepon saat Charly memanggilku dari ruang tamu.

"Aku bisa membawanya langsung ke rumah sakit. Kita tidak bisa menunggu ambulans datang dan membiarkannya terus seperti ini!"

Telepon ditutup dan aku kembali pada Whitney yang sekarang sudah bersama Charly. Charly sedang menggendong Whitney.

Hatiku berkecamuk. Apakah aku akan mementingkan egoku pada Charly atau aku biarkan saja ia membawa Whitney ke rumah sakit? Apa ia benar-benar akan membawanya ke sana? Atau ini adalah bagian dari rencananya: menjebakku?

Tanpa sadar aku mengikutinya dan kami semua sudah berada di dalam jeep milik Charly. Aku memilih menyelamatkan nyawa Whitney. Tentu saja, ia temanku! Dan bagaimana mungkin aku membiarkan egoku mengendalikan seluruh kesadaranku. Tidak untuk saat ini. Tapi aku tidak janji bahwa setelah ini aku akan benar-benar menjauhi Charly. Meskipun sejujurnya aku masih ingin mendengar penjelasannya tentang semua yang terjadi padaku.

Charly mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Kami tiba di rumah sakit terdekat hanya beberapa menit kemudian. Sampai di sana aku langsung berteriak pada petugas medis bahwa seseorang harus segera dirawat di ruang UGD. Mereka melihat Whitney yang tergolek lemah di atas kursi mobil. Mereka membawanya. Aku hanya bisa menunggu semua selesai sambil berdoa dari luar ruangan UGD. Aku dan Charly duduk bersebelahan di bangku tunggu pasien. Kami tidak bicara atau mengobrol apapun setelah sebelumnya aku menghadangnya dengan: "Jangan bicara padaku. Aku belum ingin mendengarmu."

Mungkin beberapa jam kemudian-karena yang kutahu waktunya sangat lama-seorang dokter keluar kamar operasi. Ia tertunduk tidak berani menatapku dan Charly yang berusaha mencari jawaban di matanya. Dua orang suster menyusul keluar. Mereka langsung meninggalkan kami bertiga dengan terburu-buru.

Dokter pria di depanku membuka maskernya. Ia bilang padaku, "Maafkan kami. Kami sudah berusaha semaks-"

"Jangan bilang kalau Anda.. tidak bisa.. menyelamatkannya?" Aku menggeleng pada diri sendiri. Air mataku kembali jatuh. Kali ini langsung membasahi lantai koridor rumah sakit.

"Maafkan kami-"
Aku berlari memasuki ruangan di mana Whitney sekarang terbujur kaku. Kupandangi temanku itu lekat-lekat. Tubuhnya mulai membiru. Lagi-lagi emosi di dalam jiwaku meronta-ronta. Aku berteriak histeris saat beberapa orang masuk dan mencoba meleraiku. Beberapa suster bahkan memaksaku keluar ruangan operasi. Mereka hendak memasukkan Whitney ke kamar jenazah.

"Tidak mungkiiiiiiiinn! Tidak mungkin temanku meninggal! Dia baru saja memintaku menyelamatkannya! Dokter, suster tolong selamatkan dia!"

Seseorang memeluk bahuku erat. Ia membiarkan bahunya basah oleh air mataku. "Tolong selamatkan dia... Ini semua karenaku..." Suaraku semakin pelan. Seluruh rambutku bergerak membentuk tirai di depan wajahku. Aku terisak dicecar rasa bersalah yang saat ini sudah luber mengisi hatiku.

The Protecting Blood Where stories live. Discover now