Chapter 31 - Kunjungan

348 16 0
                                    

Aku bawa kabar gembiraaaa yippiee aku bisa update satu chapter lagi akhirnyaaaaa!! --Haha lebay-- benar2 di luar dugaan haha.

***

Selamat Membaca! :D

***

Benar-benar reaksi yang tidak kuduga sama sekali. Charly malah cekikikan di depanku. Nyaliku menciut seiring pintu yang juga semakin menutup. Aku takut, malu, dan yang pasti adalah salah tingkah.

Charly menahan pintu diikuti gelak tawanya yang mulai pudar. Aku terperanjat dengan kedatangan tangan tak terduga di sisi pintu. Yang terjadi kemudian adalah Charly merangsek masuk dan berdiri di depan tubuhku yang masih kaku. Terpaku.

“Aku tahu kau pasti penasaran dengan itu…” kata Charly perlahan. Matanya tidak lepas jatuh menimpaku.

“Buk-bukan! Ya ampun, memangnya aku bilang apa?! Gila!” pekikku frustasi.

“Tenang saja, aku tidak akan seperti itu selama denganmu. Anggap saja yang kau lihat hanya mimpi.”

HAHA! Iya, MIMPI BURUK.

Charly kemudian mulai memperhatikan interior rumahku. Dari mulai pajangan dinding, jendela, tangga menuju lantai dua, dan berbagai furniture yang melengkapi bangunan bergaya klasik ini.
“Selera yang unik,” komentarnya singkat.

Aku hampir saja tidak berhenti memandanginya. Pikiranku blank, tidak tahu harus bertingkah atau melakukan apa. Kehadirannya selalu membuatku canggung. Apa ini karena perbedaan umur kami? Atau memang ada sesuatu yang salah dari diriku?

“Duduklah,” kataku tidak sadar. Benar-benar, ini mengesalkan. Bibir dan otakku tidak singkron!

Charly tersenyum menatapku. Ia lalu duduk dan separuh mengabaikanku.

“Tunggu, Patricia!” cegatnya padaku. Aku menoleh. “Apa ini artinya kau sudah berdamai denganku?”

Aku menarik ingusku lagi. “Aku akan memikirkannya nanti.”

Aku berjalan ke dapur menuangkan dua gelas air putih. Satu untukku meminum obat, dan satu lainnya untuk Charly. Aku berniat memberinya suguhan yang sama sekali tidak istimewa ini. Juga karena kebetulan persediaan gula di rumah sudah habis berminggu-minggu lalu. Kuperiksa isi bungkusan yang semula kuyakini berisi obat. Tapi toh itu benar. Memang berisi obat. Dan itu sungguh-sungguh obat flu. Jadi aku meminumnya tanpa pikir-pikir lagi.

Aku kembali ke ruang tamu dan mendapati Charly sedang berdiri memandang satu pigura bergambar keluarga kecilku. Ia di sana mengangkatnya hampir di depan dada.

“Kau mewarisi mata ibumu…”

Aku meletakkan baki berisi segelas air putih yang kubawa dan pura-pura tidak mendengar komentar Charly tentang foto itu. Aku duduk di sofa dan Charly meletakkan pigura itu di tempatnya semula. Ia kemudian mendekatiku.

“Cepat katakan apa maksudmu,” kataku tanpa basa-basi. Aku tidak tahan harus berhadapan dengan seorang pria dewasa, yang entah bagaimana semakin membuatku penasaran. Sekaligus benci fakta bahwa ia ‘berbeda’.

“Aku tahu. Sebenarnya aku menunggumu mengatakan itu.”
Sekarang Charly duduk di seberangku. “Aku ingin mengajakmu mengujungi rumah Mr. Smith.” Charly menatapku sambil (mungkin) diam-diam berharap aku mengatakan satu kata ajaib: ya.

“Aku benci semua kegilaan!” seruku tidak peduli. Mataku memejam dan punggunggku membanting ke sandaran sofa.

“Aku memang gila,” balas Charly super-super menyebalkan. “Aku tunggu kau di depan pintu rumahmu sepuluh menit dari sekarang. Aku ingin kau bersiap-siap.” Pria itu berlalu begitu saja. Ia melewati pintu dan berakhir menutupnya bahkan tanpa sempat aku membalas dengan sinis setiap kata yang ia ucapkan.

The Protecting Blood Where stories live. Discover now