Chapter 15 - Penglihatan (2)

556 28 0
                                    

Hati-hati sama penggambaran tokoh Juney di awal cerita yaa... Aku sengaja pake italic buat ngegambarin Little Juney.

***

Selamat Membaca! :D

***

Setelah itu, tiba-tiba saja semua berjalan sangat cepat. Seperti kepingan scene yang diputar menyambung. Di depanku, atau paling tidak di depan tubuh Charly ini, berdiri Mom dan Dad. Ayah Charly berdiri paling dekat dengan pagar. Kami semua ada di halaman rumah. Di tempat itu Dad sedang menenteng kopernya dengan terburu-buru. Seorang gadis berwajah pucat yang memakai piyama biru berlari mengejarnya. Itu adalah aku, saat umurku enam tahun. Aku masih dapat mengenali bahwa gadis itu adalah diriku. Aku pernah mengalami saat-saat itu: menjadi dirinya. Aku tahu apa yang terjadi. Tapi aku tidak menyadari bahwa di satu sisi di seberangku, sedang berdiri pemuda yang kukenal bernama Charly. Aku bahkan tidak ingat bahwa Charly-berarti-pernah bertemu denganku dulu. Dan harusnya aku berpikir kenapa pria ini bisa tahu namaku sejak awal kami bertemu.

"Dad, tidak bisakah kau di sini saja? Aku sedang sakit, Dad... Aku ingin kau menyembuhkanku juga..." Aku-kecil merengek sambil terisak. Aku menarik-narik jaket Dad. Mom meraih tanganku. Ia lalu menggendongku perlahan. Aku tetap menangis, yang kemudian memunculkan kesedihan di wajah Dad.

Alasanku melarang Dad pergi adalah karena malam sebelumnya aku bermimpi buruk tentang kematian Dad. Aku takut jika mimpi itu jadi nyata. Bayangkan saja jika kau mendapat mimpi seperti itu di usiamu yang baru enam tahun. Kau pasti sangat ketakutan. Aku ingin bilang pada Mom tentang mimpi itu, tapi aku takut ia hanya menganggapku seperti angin lalu. Jadi aku tidak menceritakannya. Aku hanya bisa melarang Dad dengan alasan yang memang sesuai keadaanku. Tapi itu nyatanya tidak cukup kuat untuk menahannya pergi. Dan toh ternyata akhirnya aku benar. Ini bukan sekedar mimpi. Ini firasat. Dan semua benar terjadi setelahnya. Rasanya aku ingin sekali menangis, tapi aku benar-benar tidak bisa mengendalikan tubuh ini.

"Aku hanya pergi sebentar, PJ. Besok pasti aku sudah kembali," kata Dad lembut.

Aku-kecil menggeleng dan Dad menggendongku, seolah merebutnya dari Mom. Ia mengecup keningku. Dari sudut pandang Charly aku tidak mendengar kata-kata Dad pada aku-kecil, tapi aku ingat Dad bilang: "Demammu sangat tinggi, Sayang..." bisik Dad di telingaku. "Masuklah, PJ. Kau mau kubawakan apa besok?" Dad berusaha menyogok.

Aku-kecil tersenyum. "Lolipop yang banyak!" seruku bersemangat.

Hari itu aku lupa tentang sakitku. Aku belum tahu jika itu adalah bentuk suap dari Dad. Yang kubayangkan saat itu hanyalah lolipop. Lolipop berwarna-warni yang Dad bawakan untukku. Dalam imajinasi aku berenang dalam kolam lolipop yang Dad berikan. Ya, tapi setelah itu memang tidak pernah ada lolipop darinya. Bahkan dari orang lain pun tidak. Seharusnya paling tidak mereka menghiburku dengan lolipop-lolipop itu saat yang datang kemudian adalah Dad yang hanya bisa terbujur kaku di dalam peti jenazah.

Kilasan penglihatan di rumahku menghilang. Aku mulai mengerti dengan apa yang terjadi. Kuputuskan untuk tidak memunculkan pertanyaan dalam otakku dan mulai hanya mengikuti segalanya yang kulihat. Jadi aku tidak terlalu heran ketika tiba-tiba saja tanah yang kupijak berubah. Aku ada di tempat lain. Rasanya sungguh-sungguh seperti mimpi, kau tahu?

Di tempat yang tidak kukenal itu, aku memanjat sebuah pohon dan duduk di papan-papan kayu yang-kuduga-sengaja ditaruh beberapa meter sebelum puncaknya. Mataku mulai menyapu pemandangan di bawah depan. Ada sebuah perayaan besar. Mungkin hampir sekitar seratus orang berkumpul di sana. Tertawa, menari, bernyanyi, dan bercanda. Dari baju yang mereka pakai, sepertinya itu adalah baju tradisional adat. Mereka masih mengenakan aksesoris dari kerang, tulang, dan daun di tubuh mereka. Hanya beberapa yang sudah berpenampilan modern seperti sekarang. Salah satunya adalah Dad yang berdiri agak belakang di kerumunan itu. Ia mungkin menjadi pria paling tampan di antara mereka. Di ujung sana ia sedang memegang gelas sambil berbincang-bincang dengan beberapa orang di dekatnya.

Prok prok! Ayah Charly menepuk tangannya meminta perhatian. Ia berdiri di atas sebongkah batu besar di tengah kerumunan. "Saudara-saudariku..." Aku dapat menebak ia akan menyampaikan sebuah pengumuman. "...kita tahu bahwa kesembuhan Lola, Dema, Seth, dan yang lainnya adalah berkat bantuan teman sekaligus dokter kita, Gerard." Ayah Charly menunjuk Dad yang berdiri jauh darinya. Dad hanya mengangguk sambil mengangkat gelasnya dengan sedikit tersenyum sungkan.

Ayah Charly melanjutkan, "Dia sudah membantu kita meski dia tahu kita berbeda. Tanpanya, kita tidak bisa berbuat apa-apa. Oleh sebab itu, mari kita rayakan keberhasilannya dengan pesta kecil ini sebagai tanda terima kasih kita padanya!" Nada suaranya meninggi, diikuti sorak-sorai semua yang ada di sana.

Tiba-tiba terdengar lengkingan seseorang dari balik pohon, "Itu dia! Mereka di sana! Makhluk itu ada di sana!"

Siapa mereka?

Dan... Dor! Dor! Dor! Suara letusan senjata api menginterupsi, menghapuskan ketentraman di tanah itu. Bunyinya berentetan dan terdengar berniat melenyapkan segala yang ada di bawah sana. Baru sebentar saja, tanah itu berubah jadi medan tempur yang tak terelakkan. Orang-orang di bawah berlari berpencar menyelamatkan diri. Dor! Dor! Dor! Dor! Letusan kembali membabi-buta. Masih memberondong. Mereka yang terlambat menyadari serangan itu kemudian tertembak dan menggelepar sekarat. Para wanita dan anak-anak berteriak ketakutan. Mereka bersembunyi sedapat-dapatnya tempat. Malangnya, mereka tidak cukup berhasil menyembunyikan diri mereka.

Suasana mencekam. Mataku menangkap beberapa pria yang mengokang senjata api bersembunyi di balik pohon besar. Itu dia! Sang pelaku: dalang dari tragedi mengerikan ini. Dan yang kutahu, tubuh ini menampilkan gestur cemas dan marah. Aku hampir turun dan sesaat kemudian aku naik ke atas pohon lagi. Tubuhku mengambil ancang-ancang melompat. Tiba-tiba kaki ini menghempas ke tanah dengan keras. Dan wuss pohon-pohon berlalu dengan cepat mengejar pria-pria bersenjata api yang kabur setelah menyadari mereka sudah kehabisan peluru.

Tunggu! Aku berlari dengan empat kaki..dan aku memiliki EKOR?!

Aku mendekati pria gemuk yang berlari paling akhir. Terdengar geraman. Dan asalnya dariku. Pria itu menoleh ke belakang dan menatapku dengan wajah ketakutan seolah melihat malaikat maut. Tapi yang terjadi setelah itu sungguh tidak kuduga. Gigiku menimbulkan bunyi gemeretak dan sekejap kemudian mulutku baru saja memutuskan urat leher pria itu. Darah menyembur kemana-mana, termasuk ke wajahku. Pria itu ambruk. Begitupun aku-seharusnya-yang melihatnya. Aku menjerit tanpa suara. Hanya dalam pikiranku saja. Tubuh ini bahkan tidak mengizinkanku bernapas dan meringankan perasaan trauma yang baru saja menjangkitiku. Mungkin mestinya setelah ini aku merosot pingsan dan berteriak-teriak gila jika bukan karena efek bawaan dari si pemilik tubuh ini. Lima hyena yang ukurannya lebih besar dari semua hyena di muka bumi yang pernah kutahu sedang menggigit dan menerkam pria-pria dengan senjata yang masih berlarian. Mereka menghabisi semua pelaku pembantaian dengan sangat brutal. Tentu saja, mereka hewan! Tapi hewan macam apa yang bisa bicara: "Falla dan Elena tertembak, Kakak!"

***bersambung***

Jangan lupa vote dan comment yaa.. (^_^)

Note: bakal ada beberapa chapter dg judul Penglihatan. Poin ini emang panjang bgt. Aku sengaja tetep pisah2 karena aku mau bikin setiap chapter (-+)1000 kata. Hhe tapi chapter yg awalan itu emang terlalu sedikit. :v

Tunggu kelanjutan kisah Juney, oke? See ya next chapter!

The Protecting Blood Where stories live. Discover now