Chapter 5 - Tertinggal

1.1K 59 0
                                    

Triiiing. Ponselku berdering. Aku merogoh benda kotak itu di saku celana jeans-ku. Satu pesan diterima. Aku membukanya. Dari Stefan!


Juney, tolong kami. Aku dan Maureen tersesat di hutan.

Jerry merampas ponselku. Matanya membelalak mendapati pesan singkat dari Stefan.

"Sial! Apa yang sebenarnya mereka lakukan di sana?!" Nada suaranya meninggi. Whitney bergantian membaca pesan Stefan. Ia tampak terkejut. Aku juga sama terkejutnya seperti mereka.

Bodoh! Apa yang mereka pikirkan sampai masuk ke hutan sialan itu?!

"Bagaimana ini, Jun?" tanya Whitney penasaran. Ia berdiri sambil mengibas-ngibaskan roknya yang kemasukan pasir.

Mataku beralih pada hutan. "Aku akan mencarinya dulu..."

"Aku ikut bersamamu!" sahut Jerry memotong kalimatku.

Ada raut kesal di wajah Whitney yang enggan ia utarakan. Pastinya keputusan Jerry akan ia tolak jika bukan karena berada di hadapanku.

"Kalian tetap di sini. Aku akan mencarinya sendiri."

"Kau pasti sudah gila, Jun! Aku akan ikut bersamamu!" Dasar Jerry si keras kepala, umpatku dalam hati.

"Kalian tahu kan, sebentar lagi kapal akan tiba di sini. Kita bisa segera kembali. Dan Jun.." Whitney menatapku tajam. Jarinya menunjuk ke dalam hutan. "Jangan lupa bahwa di sana ada makhluk liar yang sudah membunuh teman-teman kita! Tidak bisakah kalian kembali saja? Aku yakin polisi juga akan datang dan mencari mereka." Nada suara Whitney penuh penekanan.

"Tidak tanpa mereka saat ini!"

Untuk beberapa waktu aku dan Jerry terlibat dalam argumen sengit. Ia bersikukuh pergi bersamaku. Dan pada akhirnya kami berdua mengendap-endap ke dalam hutan untuk mencari Stefan dan Maureen bersama. "Aku akan mengabarimu jika sudah bertemu mereka. Dan jika kami tidak kembali sampai kapal tiba, beritahu polisi untuk segera mencari kami."

Whitney mengangguk tidak rela. Ia melepas kepergian Jerry dengan satu ciuman di bibir. Di momen ini aku menyadari jika Jerry sebenarnya juga mencintai Whitney. Aku menekan mataku yang meremang. Haha. Kenapa tiba-tiba mataku gatal, ya?

Lupakan pikiran itu, Juney. Lupakan!

Aku dan Jerry melangkah waspada memasuki hutan gelap di depan kami. Bau lembab menyeruak menusuk hidungku. Aku berhenti sejenak. Jerry menatapku dengan tanda tanya di wajahnya. Aku tidak meresponnya. Yang kupikirkan adalah menelepon Stefan. Aku meraih ponsel di saku dan kembali menghubunginya. Sial! Sial! Sial! Nomornya tidak aktif!

"Bagaimana, Jun?" tanya Jerry menungguku.

"Nomornya tidak aktif!"

"Bagaimana ini? Bagaimana kita akan menemukan mereka sementara kita sama sekali tidak mengetahui keberadaan mereka?! Dasar brengsek kau Stif!" Jerry meninju udara di depannya sambil menggeram.

"Jangan terus menyalahkannya, Jerry! Kita belum tahu alasan mereka bisa sampai di hutan! Yang terpenting saat ini adalah bagaimana kita bisa menemukan mereka terlebih dahulu! Jika kau tidak ingin mencari mereka, kau masih bisa kembali. Lagi pula aku tidak memaksamu! Dasar berisik!"

Jerry hanya menatapku tak terima.

Kami melanjutkan pencarian. Semakin masuk ke dalam kami mendapati bahwa vegetasi yang kami lalui semakin lebat. Tanah yang kami pijak bahkan menimbulkan jejak sepatu yang mengeluarkan air. Sinar matahari semakin sedikit yang berhasil menembus pepohonan. Beberapa kali aku dan Jerry bertatapan horor pada gemerisik semak di kejauhan.

Aku kembali berhenti untuk menghubungi Stefan, tapi lagi-lagi nomornya tidak aktif. Sungguh aku benci ini! Sejujurnya aku ingin berteriak memanggil mereka berdua, tapi Jerry melarangku. "Kita tidak boleh memancing kehadiran mereka, Jun."

Pukul 11.14 siang. Kami belum juga menemukan Stefan dan Maureen. Tapi setidaknya kami lega tidak bertemu dengan hyena. Aku dan Jerry memutuskan beristirahat di atas pohon. Kami memanjat pohon tertinggi yang kami temui, berharap dua orang itu terlihat di bawah sana. Aku kembali menghubungi Stefan. Aku dan Jerry menggeram karena lagi-lagi ponselnya masih tidak aktif.

Kami melanjutkan pencarian ke utara Pulau Nieffe. Sesuatu terasa mengikuti setelah kami memasuki sebuah area mirip lapangan kecil, kira-kira berukuran 10 x 10 meter yang dikelilingi pepohonan dengan dahan berlumut. Beberapa tumbuhan merambat menjalar di dahan dan ranting-ranting kecilnya. Tubuhku tidak pernah berbohong jika kadar takut dalam emosiku memuncak. Tangan dan kakiku bergetar hebat saat kami samar-samar mendengar derap langkah yang mendekat. Pisau selalu kami hunuskan ke arah yang menurut kami berpotensi datang bahaya. Bahkan tidak kupungkiri, Jerry ketakutan saat itu. Dasar sok berani!

Kembali pada derap langkah itu. Setelah kami tegang setengah mati, seekor kucing hutan bermata kuning melompat dari semak dan hampir menubruk kami. "Sial! Hanya seekor kucing coklat!"

Aku dan Jerry merosot ke tanah. Lutut kami sama-sama lepas kendali. Kami berjongkok tanpa tenaga.

"Apa kau butuh tempat bersandar saat ini, Jun?" Jerry memegangi lututnya dengan napas terengah.

"Sepertinya begitu. Apa kau membutuhkannya juga?"

"Hm..mm.." Pria itu mengangguk.

Kami bersandar di punggung satu sama lain dengan kaki menjulur bebas di atas tanah. Kami menghela napas hampir bersamaan, dan tersenyum lega melihat yang datang kemudian adalah dua sahabat kami. Ditambah pria berambut hitam dengan mata coklatnya yang misterius. Charly.

Stefan berlari ke arahku. "Juney, Jerry!"

Aku bangkit dan langsung memeluk Stefan dan Maureen bersamaan. Jerry memeluk kami semua. Tanpa terasa air mataku menitik, merasa terharu dengan pertemuan ini.

Maureen menarik napasnya dalam di hadapanku. "Maafkan kami Juney, Jerry... Maafkan kami telah membuatmu mencari."

"Siapa kau?" tanya Jerry memberondong. Ia melekatkan matanya pada sosok tinggi dengan jaket kulit hitam di hadapannya.

"Namaku Charly. Aku bertemu mereka di hutan."

Jerry mengangguk tanda mengerti. "Terima kasih."

Apa? Barusan Jerry mengucapkan apa? Terima kasih? Ya, ya, aku yakin kali ini aku tidak salah dengar!

"Jadi.." Jerry menatap tajam Stefan dan Maureen. "Alasan macam apa yang bisa kalian berikan untuk kami?!" Jerry hampir berteriak seolah di sana tidak ada Charly yang baru saja berbicara dengannya.

Aku menepuk bahu Jerry, lalu tersenyum. "Kita bisa saling mengobrol di perkemahan nanti. Kita harus cepat kembali atau kita ketinggalan kapal terakhir."

Charly memimpin kami keluar hutan. Ia nampaknya tidak berencana buka mulut dalam perjalanan kami. Jerry beberapa kali mendengus muak menatapku yang berjalan di samping Charly. Aku tersenyum kecil lalu mengabaikannya. Aku yakin dia cemburu, haha.

Cahaya kuning mulai terlihat menerobos celah-celah barisan pohon di depan kami. Aku berlari mendahului rombongan kecil kami. Aku tiba pertama di pantai. Dan, aku berteriak saat melihat pemandangan di sana.

Jerry, Charly, Stefan, dan Maureen setengah berlari menghampiriku. Mereka pasti sama saja denganku. Terkejut.

"Sial! Ke mana perginya orang-orang?!" Jerry menyeru.

"Ada apa, teman-teman?" tanya Maureen membaca kekhawatiran yang didengarnya.

Aku mengacak rambut frustasi. "Kita ketinggalan rombongan kapal terakhir!"

***bersambung***

jangan lupa vote dan comment yaaa... :D

The Protecting Blood Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt