Chapter 44 - Charly

507 17 0
                                    

Itu adalah sebuah gulungan kertas berisi—yang lagi-lagi—tulisan tangan yang setelah kupikir-pikir sama persis dengan tulisan di surat kecil itu. Aku menyandingkan kedua kertas yang berbeda ukuran itu. Tidak salah lagi. Pengirim yang sama.

Tapi sebenarnya bukan itu yang membuatku semakin heran. Si pengirim mengajakku bertemu di ZSL Zoo besok. Haruskah aku datang dan memupus rasa penasaranku? Atau diam saja pura-pura tidak tahu tentang dua surat misterius itu?

Tidak, itu bukan gayaku. Dan tentu saja bukan aku namanya jika tidak nekat. Tidak peduli. Sepulang kerja aku akan pergi ke sana. Aku mulai berpikir orang ini, begitu aku menyebut si pengirim pesan, mengetahui apa yang tidak kuketahui. Bahkan ini terdengar dalam sekali. Ia sempat-sempatnya menyatakan perasaan padaku. Lagi pula semua terasa aneh semenjak aku bangun dari tidur panjangku. Mom tidak pernah bercerita tentang kronologi kecelakaanku meski terhitung lima bulan berlalu. Jadi apa salahnya? Toh aku masih bisa sedikit mempraktekkan judo-ku semasa kuliah. Ya, paling tidak aku tahu gerakan dasarnya.

Pukul lima sore langsung dari tempat kerja, aku tiba di kebun binatang. Aku segera masuk dan mencari si pengirim surat di tempat yang dijanjikan. Aku yang naif bahkan tidak berpikiran bahwa si pengirim surat mungkin adalah penculik dan ia hendak menjual organ tubuhku. Buru-buru kutepis saat pikiran itu hinggap di kepalaku. Rasanya tidak mungkin. Penekanan pada tulisan tangan itu terlihat penuh kejujuran. Satu poin untuk sebuah logika. Ahhh… tapi bagaimana aku bisa memastikannya? Aku bukan ahli grafologi.

Aku akhirnya melihat-lihat fauna yang ada di sana. Hitung-hitung mengobati kejenuhanku bekerja. Nyatanya cukup ampuh.

Tidak sampai sepuluh menit aku menikmati waktu kesendirianku yang mulanya kuanggap sangat-konyol-mempercayainya, seorang pria berambut hitam mengenakan kacamata berdiri di sampingku. Ia menatap ke arah yang sama—ke arah beruang kutub yang sedang berenang—sebelum aku mendapatinya tersenyum dengan apa yang ia lihat. Aku mencoba mengamati pria itu sekilas. Tidak ada seorang pun yang tampak datang bersama dengannya. Atau ia memang sedang menunggu kekasihnya? Ya, benar juga. Pria tampan selalu punya tempat untuk wanita-wanita cantik di dunia ini. Dan ia seketika memancarkan aura teduh dan penuh kewibawaan. Kuperkirakan umurnya 30 lebih. Barangkali.

Pria itu menoleh. Wow, aku sedang bertatapan dengan seorang pria dewasa sekarang.

Apa?!

Memandang tepat ke mataku.

Gila! Diakah?

Bersamaan dengan bibirnya yang bergerak, muncullah sebuah suara berat dan berkata, “Gadis kecil …”

Dan jelas-jelas ia berbicara padaku. Matanya tidak teralihkan. Aku harusnya tahu dialah sang pengirim surat. Pria itu tersenyum kecil sebelum akhirnya menunduk seakan penuh penyesalan.

“Ka-kaukah yang memberikanku kalung itu?” tanyaku ragu. Aku yang bodoh. Pria itu haruslah melihatnya sementara aku dengan tidak sadarnya bertanya seolah kalung itu tidak berada di dekatku. Padahal benda itu diam manis melingkar di batang leherku.

“Ya, senang bisa bertemu denganmu lagi,” kata pria itu tidak kalah merdu dari sebelumnya.

Kembali kuingat. Barangkali ia pernah jadi dosenku. Atau kakak kelasku semasa di kampus. Atau rekan kerjaku. Atau atasanku. Atau siapalah. Tapi aku belum pernah melihatnya meski dalam hati aku berbisik: tidak asing dengan wajahnya. Bibir tipis melengkung dengan tahi lalat kecil di bawah mata kanannya. Seperti de javu. Haha lagi-lagi aku menyebut kata ajaib itu seolah aku pernah benar-benar mengalami dan bisa membuktikannya.

“Siapa kau sebenarnya?” tanyaku tidak lantas menaruh curiga pada pria itu. Aku masih kalem menunggu penjelasannya. Lagi pula penculik tidak akan mengajakmu bertemu di tempat seramai ini, tahu!

The Protecting Blood Where stories live. Discover now