BAGIAN 3

15.3K 1.2K 16
                                    

Mataku mengerjap saat cahaya matahari masuk melalui kain yang menutup jendela kamarku. Setelah hari-hari yang mengerikan karena pernikahanku yang batal, hal pertama yang kulakukan saat bangun tidur adalah memegang kepalaku. Dan... masih utuh.

Aku membuka satu mataku. Pemandangan pertama yang kudapati adalah langit-langit kamarku. Lampu gantung tetap berada di sana. Dia diam di sana. Tidak berputar. Lalu aku mulai menyadari satu hal, kepalaku tidak terasa pening.

Ya, sekarang aku ingat, semalam aku berhasil pulang dalam keadaan tidak mabuk. Sekarang aku merasa... lebih baik. Aku bahkan mendapatkan tidur nyenyak berkualitas setelah beberapa hari mengerikan.

Aku terkekeh karena merasa bangga pada diriku sendiri. Aku meregangkan otot-otot tubuhku. Bergelung kembali ke dalam selimutku, karena tidak ada wanita yang bisa kupeluk saat ini.

Morgan, berhenti memikirkan wanita.

Ponselku berdering bersamaan dengan alarm pukul tujuh. Aku mencari-cari ponsel di nakas samping ranjangku. Satu mataku terangkat untuk melihat siapa yang menelpon sepagi ini.

Aku mendengus. Carol. Tentu saja dia. Harusnya aku bisa menduganya. Setelah lusinan panggilan yang tidak kujawab dan setelah bantingan pintu di depan wajahnya, tentu saja dia akan meneleponku.

Dengan berat hati, aku mengangkat panggilan Carol. Meskipun dia kakak perempuanku, harusnya dia lebih tahu, kapan waktu yang tepat untuk menelepon adik laki-lakinya yang sedang patah hati. "Apa?" kataku datar.

"Johnny? Apa kau baik-baik saja?" kata Carol di kejauhan.

"Apa maksudmu?"

"Kau mabuk lagi," hardiknya.

Aku memutar mataku. Beruntung dia berada di sisi lain entah di mana, jika tidak, dia akan menggerutu karena aku memutar mata padanya. "Aku tidak mabuk, Carol. Semalam aku minum kopi."

Kopi? Hmm, cappucino. Aku ingat. Tadi malam aku bersama Becky. Aku tersenyum membayangkan tawanya yang menggemaskan. Sikap polosnya yang terus menolakku. Sialan, aku tidak bisa berhenti memikirkannya.

"Johnny!" Carol berteriak, memotong lamunanku.

"Apa?" jawabku malas.

"Apa kau mendengarkan?"

"Ya, aku dengar," kataku menutupi dustaku.

"Kau bisa menghubungi Pete untuk menjemputmu bekerja."

Tunggu. Apa? Bekerja? Apa orang yang sedang patah hati tidak bisa mendapatkan libur?

Tapi kenapa aku harus menghubungi Pete? "Untuk apa?" tanyaku. Kebingunganku beradu dengan suara serak malasku di pagi hari.

"Kau mendengarku. Aku menyita kunci mobilmu. Aku tidak mau kau melakukan hal bodoh."

Sialan. "Apa?!" Aku langsung bangun seketika. "Kau membawa kunciku?!"

"Beserta cadangannya," jawabnya tenang.

Bagaimana dia bisa melakukan itu?

Morgan, dia adalah Carolina Fred. Dia bisa melakukan apa saja.

"Satu-satunya yang melakukan hal bodoh di sini adalah kau, Carol! Kau memperlakukanku seperti remaja yang belum mendapat ijin mengemudi!"

"Ya, memang kau tidak diijinkan mengemudi untuk saat-saat kacau seperti ini."

"Aku baik-baik saja, Carol! Aku mencoba untuk tidak minum!"

Dan lagi. Nada memerintah menyebalkannya, mulai ia lontarkan. "Buktikan itu. Kau bisa mengambilnya sepulang kerja dan kau tidak boleh mengambilnya dalam keadaan mabuk."

Cursed on YouWhere stories live. Discover now