3.2

12.8K 1.1K 16
                                    

Setelah pernikahan yang batal dan setelah berpisah dengan Becky malam itu, hari-hariku terasa biasa-biasa saja. Bukan berarti hidupku kembali seperti Johnny Morgan sebelum memutuskan berkomitmen; ke kelab, berganti wanita, melakukan kencan semalam, berganti pasangan tidur setiap akhir pekan—intinya, aku hanya mempermainkan wanita.

Sungguh, aku tidak bisa lagi menjadi seperti itu. Bayangan patah hati yang mengerikan menggelayutiku. Aku tak mau mempermainkan wanita lagi.

Lagipula, aku tidak lagi menginginkan wanita lain bersamaku. Meskipun rasanya mudah untuk memilih wanita manapun. Model, artis, anak pengusaha, semua bisa didapat dengan mudah. Semuanya berotak wanita metropolitan.

Sialan. Apakah semua tipeku begitu membosankan seperti wanita-wanita itu?

Mungkin aku harus mencari wanita lain yang seperti Becky, tapi aku tidak yakin di New York masih tersisa orang seperti Becky, yang secantik dia.

Brengsek. Aku memikirkan wanita itu setiap saat selama dua pekan terakhir. Rasa penasaranku yang tidak terbayar, mengingat penolakan Becky pada semua tawaranku meski dia mengatakan, sudah memaafkanku. Pikiran itu membuatku tidak fokus. Aku tidak pernah seperti ini, bahkan ketika aku dan Vanessa bertengkar.

Hidupku menjadi tanpa rasa, hambar, hampa. Sekarang aku yakin, Becky Narvis pernah mengutukku di masa lalu.

Aku menahan diri untuk mabuk. Yang aku tahu, itu sama sekali tidak mengalihkan pikiranku. Tidak ada gunanya. Jika Vanessa pun tak bisa keluar dari kepalaku, aku ragu Becky yang telah mengutukku, bisa keluar dari hidupku hanya dengan menenggak berbotol-botol alkohol.

Untuk pertama kalinya dalam hidupku, ini hampir dua belas hari terkutuk tanpa alkohol setetes pun. Aku banyak meminum cappucino akhir-akhir ini.

Sungguh, Bec. Aku ingin ini berhenti. Aku akan terus mengingat setiap inci kecantikanmu. Tapi tolong, keluarlah dari kepalaku. Aku tak bisa menemukanmu dan itu membuatku gila!

Lihat? Pikiranku mengeluh pada pikiranku sendiri.

Ketukan pintu membuyarkan lamunanku. Sejak tadi aku menatap layar laptop tapi tidak melakukan apapun. Yang kulakukan hanya bicara pada kepalaku.

Wajah Pete muncul dari balik pintu. Aku melirik jam di meja kerjaku, itu sepuluh menit sebelum waktu pulang kerja. Aku menutup laptopku dan mengijinkan Pete masuk.

Pete tersenyum padaku. "Halo, Kak."

Aku menyeringai. "Aku masih atasanmu. Sepuluh menit lagi kau baru bisa memanggilku seperti itu."

Pete terkekeh lalu menyerahkan berkas padaku. "Semuanya lancar."

Aku meyakini bahwa aku setengah gila sejak pernikahanku yang batal. Dan semakin menggila setelah bertemu dengan Becky, lalu setiap saat memikirkan kesalahanku di masa lalu padanya. Pikiranku yang buyar memaksa diriku untuk tinggal di kantor, bukan maju menangani klien. Bukankah itu mengkhawatirkan ketika tidak fokus di hadapan klien? Aku terpaksa meminta Pete untuk maju menangani klien.

"Terima kasih, Pete. Aku tidak tahu lagi jika tak ada kau," kataku sungguh-sungguh.

"Apapun, Bung. Kau tampak kacau akhir-akhir ini. Kau sering diam. Sial, kau bukan lagi Johnny sebelum hari pernikahanmu. Apa kau masih belum bisa merelakan Vanessa?"

Aku hanya diam. Bukan Vanessa lagi yang mengganggu pikiranku. Ini Becky. Aku bahkan memimpikan dia setiap malam. Otakku sekarang memutar ulang betapa brengseknya aku yang mengolok-olok dia saat di bangku SMP. Aku tidak pernah seperti ini, bahkan ketika bersama Vanessa sekalipun.

"Dengar, John, aku mengerti kau sangat terpukul dengan kejadian ini. Tapi—"

"Bukan," sergahku cepat. "Ini bukan Vanessa. Aku sudah merelakan dia. Tidak ada gunanya memikirkan dia. Dia tidak mencintaiku. Dia bahkan sudah pergi entah ke mana, jauh dari New York. Dia bahkan menjual apartemen kesayangannya yang dia dapat dari jerih payahnya sendiri, tempatku melamarnya. Aku tidak lagi memikirkan dia."

Cursed on YouWhere stories live. Discover now