BAGIAN 6

12.5K 1K 26
                                    

Ponsel sialanku berdering tepat di telingaku, membuatku tersentak dari mimpi indahku bersama Becky. Aku berjengit dari posisi nyamanku. Terengah-engah karena terkejut dan mencoba untuk memproses tempatku berada. Aku baru saja terbangun dengan telanjang dada, di kamarku, di atas kasurku, dan itu hari Sabtu pukul tujuh pagi.

Demi Tuhan jika ada yang lebih menyebalkan dari pada tersentak di Sabtu pagi.

Jika ada, sesuatu itu pasti berhubungan dengan Carol.

"Apa?" gerutuku saat menerima panggilan Kakak Perempuan Yang Menyebalkan.

Carol berteriak, "Demi Tuhan, Johnny, aku hampir lima belas menit di depan pintumu! Buka pintu apartemenmu!"

"Ini akhir pekan, Carol! Enyahlah!" balasku berteriak. Aku mematikan ponselku. Kemudian berniat untuk melempar benda terkutuk yang telah menarikku kembali ke dunia nyata. Menyumpah-nyumpah si Penelepon dengan kata tak pantas. Namun sebelum aku bisa melakukan itu, ponselku kembali berdering.

Brengsek.

"Aku akan menelpon Pete atau Jonathan untuk mendobrak pintumu jika kau tidak membukakan pintu untukku!" Carol mengancam di kejauhan sana sebelum aku bisa mengumpat keras-keras padanya. Suaranya benar-benar serius. Dan aku tahu dia benar-benar serius.

Kemudian, baik Pete adik kesayangannya atau Jonathan suaminya yang setia akan benar-benar melakukan hal itu demi Carolina. Sialan.

Aku mendengus, berharap dia menangkap dengusanku—dan semoga saja dia segera enyah dari depa pintu apartemenku. Namun Carol terdengar menunggu reaksiku. Aku tahu aku tak akan menang kali ini. "Beri aku dua menit." Kemudian aku mengakhiri panggilan itu.

Sungguh, sebenarnya aku hanya ingin tidur sepanjang hari untuk memutar ulang ciuman panas semalam sebanyak ribuan kali. Tapi Carol benar-benar perusak suasana. Aku bergegas mengambil kaos terdekat yang bisa kuraih, tanpa mengganti celana pendekku.

Saat aku membuka pintu, Carol sudah menyilangkan kedua tangan di perutnya sementara wajahnya terlihat gusar. Sebelum aku mengijinkannya masuk, dia sudah melewatiku dan menjatuhkan diri di sofaku.

"Kau tidak menjawab panggilanku selama seminggu!" hardik Carol lebih dulu.

Aku memutar mata dan mengikutinya ke sofa. Aku tidak ingat jika aku telah mengabaikannya selama itu. "Kau bukan ibuku, Carol."

Carol melotot padaku. "Kau ingin ibu saja yang menelponmu dan menghakimimu? Percayalah jika itu keinginanmu, tidak lebih dari tiga puluh enam jam lagi ibu akan menelponmu—setidaknya setelah murka dari ayah."

Aku melotot padanya. Apa-apaan ini? Kenapa kedua orang tuaku harus menghakimiku sementara kakak perempuanku bertindak seperti Si Paling Benar? Apa tidak ada yang menyadari bahwa di sini aku sudah dua puluh lima?

Demi Tuhan! Aku sudah bisa meniduri banyak wanita di luar sana, bahkan hampir menikah. Kenapa mereka memperlakukanku seperti bocah berusia dua belas?

Kemudian mendengar Carol menyebut ayah kami, George Morgan, aku mulai menyadari kekhawatiranku selama beberapa hari ini ketika mendengar nama ayah. Pikiranku memutar ulang untuk alasan apa aku harus khawatir. Dan...

Oh, ya... terakhir aku mengkhawatirkan ini adalah kemarin saat Pete bicara padaku soal desas-desus di kantor. Ini tentang Becky. Aku berasumsi, Pete Morgan telah mengadukan segala hal yang terjadi di kantor pada Carol.

Dasar kekanakan.

Benar saja, Carol akhirnya membuka mulutnya untuk bertanya. "Kau berhubungan dengan Miss Narvis?"

"Ya, kami berkencan semalam," kataku tenang, karena menurutku tak yang perlu dikhawatirkan. Toh aku memang mencintainya. Dan ini nyata. Aku tersenyum mengingat malam yang sangat indah itu. "Bagaimana dia menurutmu?"

Cursed on YouWhere stories live. Discover now