3.1

12.5K 1.1K 8
                                    

Aku duduk di kursi penumpang bagian belakang sambil melihat jalanan kota New York. Masih mengenakan setelan kerja. Senyum lebar tersungging di bibirku. Dan sekarang aku benar-benar merasa seperti seorang idiot karena tersenyum sepanjang waktu sejak taksi ini melaju menembus padatnya arus lalu lintas pusat kota. Tanganku menggenggam buket bunga dahlia putih. Cengiran itu semakin tak bisa hilang saat aku memikirkan analogi antara bunga itu dan Becky.

Ya Tuhan, aku tak bisa berhenti memikirkannya.

Bunga itu mengingatkanku dengan kepolosan yang ada pada diri Becky. Betapa putih dan lembut kulitnya, hingga terlihat nyaris pucat. Aku sedang berfantasi, kiranya aroma apa yang akan kuhirup apabila aku mengendus setiap inci kulitnya.

Dasar brengsek.

Apa ini benar-benar terjadi? Aku mengagumi Becky yang dulu kuhujat mati-matian! Kupikir terlalu banyak kutukan yang Tuhan berikan untukku. Aku merasa sangat penasaran mengapa Becky selalu menolakku. Aku tidak terbiasa ditolak. Sementara Becky tidak menerima satu pun ajakanku.

Aku membayar taksi dengan segulung uang dan turun di depan apartemen Becky. Aku tidak memikirkan kemungkinan yang ada. Aku tak tahu bagaimana peluangku malam ini jika aku mengajak Becky ke suatu tempat—well, mungkin aku akan mengajaknya makan malam. Mungkin makan burger atau ke kedai kopi.

Atau mungkin... dia akan menolakku lagi kali ini.

Sejak kapan Johnny Morgan menjadi seorang pengecut? Yang perlu kulakukan hanya tersenyum manis padanya, memberikan kalimat rayuan padanya, membelikannya beberapa barang mahal; dan dia akan terjatuh detik itu juga dalam pelukanku. Aku hanya perlu menebar pesona. Aku lebih terlatih dari siapa pun untuk melakukan itu.

Nomor 2 lantai dua, aku ingat.

Saat aku memasuki bagian dalam bangunan, itu benar-benar terlihat sederhana. Ini apartemen skala menengah kebawah. Mungkin memang ekonomi Becky kurang baik, dilihat cara berpakaiannya, dan bahkan dia tidak mengenakan riasan apapun di wajahnya.

Sial. Becky yang secantik itu jauh lebih baik dengan gaun mahal, sepatu hak tinggi, dan riasan! Bagaimana hidupnya bisa begitu berat?

Nomor 2 lantai dua. Aku tersenyum saat menaiki tangga besi yang sudah sedikit berkarat. Saat aku tiba di apartemen nomor 2, aku mendapati pintu yang sudah mengelupas catnya. Aku memencet bel berulang kali dengan wajah tersenyum seraya menyembunyikan bunga di punggungku.

Dia pasti akan jatuh cinta pada detik di mana aku menyodorkan bunga ini.

Menekan bel sekali... dua kali... tiga kali... empat kali...

Tidak ada yang membukakan pintu. Apa Becky tidak ada di dalam?

Sepuluh menit aku menunggu di depan pintu apartemen Becky, seorang wanita Afrika-Amerika mengenakan tank top hitam dan celana jins pendek datang dari lantai atas. Dia menatapku dengan tatapan menyelidik. Aku hanya tersenyum padanya. Dia membalas senyumanku dengan senyum nakal.

Sialan, aku tidak menginginkan dia, aku ingin Becky yang tersenyum padaku.

"Ada yang bisa kubantu, tampan?" katanya ramah. Sambil menggigit bibirnya berusaha menggodaku.

Aku merasa gelagapan. Aku salah sasaran. "Uh, aku mencari Becky."

"Becky Narvis?" tanyanya dengan nada genit.

Aku mengangguk saja.

Dia terlihat berpikir sesaat. "Hmm, dia sudah pindah tadi siang."

Apa? "Pindah ke mana?" tanyaku cepat sebelum bisa kukendalikan.

Dia mengangkat bahu. "Aku tidak tahu. Dia tidak bisa menebus apartemennya. Siang tadi dia pindah, setelah itu petugas pegadaian datang beberapa jam kemudian."

Sialan. Pindah! Jadi tadi malam adalah malam terakhirnya di sini. Aku bertanya-tanya jika itu yang dipikirkannya semalam di kedai hingga dia terdiam seperti itu, dia tidak bisa menebus apartemennya yang digadaikan. Mendadak aku merasakan kecemasan. Sekarang di mana dia tinggal? Apa dia sudah punya tempat baru untuknya tinggal? Atau jangan-jangan dia malah menggelandang di jalanan.

"Apakah kau punya nomor ponselnya?" tanyaku.

Wanita itu terlihat ragu, namun akhirnya mengangguk. Dia mengeluarkan ponselnya dan memberikan nomor Becky padaku.

"Terima kasih," kataku.

"Ada lagi yang bisa kubantu, tampan?" Dia mengerling padaku.

Astaga.

"Tidak, terima kasih." Dengan itu aku berlalu dan meninggalkan apartemen Becky.

Pindah! Tidak kusangka aku mendapati dua orang yang pindah dalam kurun waktu seminggu. Tidak kah kutukanku terdengar nyata sekarang? Semua orang yang aku inginkan menyingkir dariku. Bahkan mereka hilang tanpa jejak.

Aku menghentikan taksi dan menimbang-nimbang tujuanku saat sopir menanyakannya padaku. Pulang atau mencari Becky? Pikiran cemas merayapiku. Kenapa aku mencemaskannya? Dia bahkan tidak bisa hilang dari pikiranku!

Aku menatap bunga dahlia yang seharusnya untuk Becky. Itu semakin mengingatkanku padanya. Kuputuskan untuk menelpon Becky agar mengetahui keadaannya, memastikan bahwa dia sudah mempunyai tempat baru untuk ditinggali. Mungkin aku akan menuju ke tempat barunya.

Tapi... tidak aktif.

Sialan, dia benar-benar menghilang tanpa jejak. Lagi-lagi aku merasakan perasaan mengerikan. Seharusnya aku tidak memikirkannya, tapi tidak bisa. Setelah tepuruk karena Vanessa, Becky lah yang membuatku tersenyum karena kepolosannya.

Dilihat dari kemampuan ekonomi Becky, yang mana dia pun tidak sanggup menebus apartemennya, kemungkinan besar dia tidak mungkin meninggalkan New York apalagi meninggalkan Amerika.

"Di mana kau, Narvis?" gumamku.

"Di mana kau, Narvis?" gumamku

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Cursed on YouWhere stories live. Discover now