8.1 (Rated)

15.8K 1K 7
                                    

Warning! 21+

Kami tiba di Manhattan tengah hari. Jika saat perjalanan pergi ia bersikeras tidak ingin tertidur, kali ini Becky tertidur sepanjang perjalanan pulang di kursi penumpang. Rasanya begitu bahagia melihatnya seperti itu. Tenang, damai, cantik, lembut. Rasanya hatiku sedang tidak ingin beranjak ke musim panas, itu musim semi selamanya.

Aku menghentikan mobil di depan apartemen Becky. Dia masih tertidur. Itu membuatku tak tega untuk membangunkannya. Pasti akhir pekan ini begitu melelahkan untuknya. Lelah yang menyenangkan—karena mungkin semalam aku habis-habisan bercinta dengannya. Mempunyai pagi hari yang menggairahkan. Waktu mandi yang terasa lebih lama.

Ya Tuhan? Apakah aku seorang maniak seks? Becky baru saja kuperawani semalam. Tapi dia bisa mengimbangi nafsuku yang telah terbendung selama berbulan-bulan.

Terima saja bahwa dirimu brengsek, Morgan.

Oke, oke. Sampai sini, aku mengerti.

Tanganku mengusap pelan pipi Becky. Aku mendekatkan wajahku ke wajahnya. Memberi banyak kecupan di sana. Becky mengernyitkan kening dalam tidurnya. Matanya mengerjapkan, lalu berusaha memproses sekitarnya.

"Hai," kataku sambil mengamati wajahnya. Ya Tuhan, dia tetap cantik meski baru bangun tidur.

"Apa kita sudah sampai?" katanya sambil masih memproses sekitar. "Oh, maaf aku tertidur. Kenapa kau tidak membangunkanku?"

"Tidak perlu, kau sudah bangun."

Becky melepaskan sabuk pengamannya. Aku melakukan hal serupa. Kami turun dari mobil bersama, membawa barang bawaan masing-masing. Tanganku di pinggulnya. Aku mencium pelipisnya meski kami masih berada di trotoar.

Aku memang tukang pamer.

"Kau ingin mampir?" tanyanya.

Aku menyuarakan gagasan yang telah kupendam sejak lama. "Apakah aku boleh menginap?"

Becky terkejut karena responku. "Kau yakin?"

Kami naik ke lantai dua. Ketika kami tiba di depan pintu apartemennya, aku baru menjawab. "Sangat yakin. Aku telah menginginkan itu sejak pertama kali kau menawariku memakan Big Mac di sofamu."

Becky tertawa seraya membuka pintu untukku. Dengan sigap aku melempar tasku dan menendang tasnya. Mendorong pintu dengan tungkaiku. Aku mengangkat Becky hingga ia memekik karena terkejut dan diikuti tawa ceria yang meruntuhkan duniaku. Membawanya ke sofa yang telah menjadi saksi bisu bagaimana tersiksanya aku berada satu ruang dengannya.

Menurunkannya perlahan seraya menyatukan bibirku dengan bibirnya. Ya Tuhan, dia punya bibir termanis yang bisa memabukkan setiap pria.

"Aku suka bibirmu," kataku sambil menjilati tepian bibirnya. Lidahnya terus mengejarku. Aku menangkap dan memberinya lumatan penuh gairah.

Bibirku menurun ke lehernya. Ia menggelinjang saat aku menggigitinya dengan penuh nafsu. Aku telah membuat beberapa tanda di sana dan aku dengan senang hati menambahkan satu lagi.

"Johnny..." erangnya.

"Ya, baby?" Aku sibuk menyingkap kaosnya. Melepas bra yang lagi-lagi—Ya Tuhan... dia begitu seksi dengan kait depan. Menurunkan bibirku, sementara tanganku mendekatkan dada berisinya menuju ke mulutku. Aku melumat, menggigit, membuat tanda. Yang perlu Becky lakukan hanya menikmati, mengeluarkan desahan yang terdengar seperti sorakan semangat untukku, dan memberikan respon positif yang mungkin bisa membuatku semakin mengeras.

Aku melepaskan penelitianku secara tak rela. Dengan cepat aku menelanjangi diriku sendiri—astaga, sudah lama sekali aku ingin telanjang di apartemen Becky tanpa suatu penolakan. Becky mengamatiku dengan seksama saat aku mengangkat kaosku. Melucuti celana jins, boxer, dan celana dalamku. Rona wajahnya kembali muncul saat ia melihatku telanjang.

Cursed on YouWhere stories live. Discover now