3.3

14K 1.3K 53
                                    

Di luar hujan ketika Pete melajukan mobilnya ke tempat Carol. Aku membeli beberapa bar cokelat di minimarket untuk keponakanku Alex yang berumur delapan dan Vicky yang berumur lima. Beruntung hujan segera reda ketika kami tiba di kediaman keluarga Fred. Aku tidak perlu menghubungi Carol karena dia pasti di rumah. Sesekali dia mengecek butik-butiknya, tapi dia mengawasi segalanya dari rumah demi mengurus suami dan anak-anaknya.

Aku akan mengakui bahwa wanita menyebalkan itu adalah sosok istri yang baik. Setidaknya... menurutku, yang belum menginjakkan kaki di pelaminan.

Pernikahan tempo lalu, tidak dihitung.

Aku memencet bel sekali. Pete mengikuti di belakangku. Dia terkekeh geli saat aku memencet bel. Seringnya kami langsung masuk saja dan duduk di ruang tamu sampai Carol menyadari kami datang. Tapi hari ini, aku sedang ingin mengerjai Carol.

Terlalu lama jawaban dari balik sana, nyaris kuputuskan membuka pintu untuk menyelinap, saat pintu terbuka dan aku membeku.

Siapa mengerjai siapa?

Tuhan benar-benar sedang mengerjaiku.

Aku bersumpah jantungku berhenti berdetak ketika mataku tak beralih ke titik mana pun. Di depanku, dengan jarak dua puluh inci, adalah mata cokelat yang melebar, bulat, indah, menawan, mata yang setiap malam datang ke mimpiku. Warna cokelat itu membunuhku detik itu juga. Jantungku telah melompat keluar.

"Johnny!" Carol berseru saat melihatku. Tapi—persetan, aku tak akan memperdulikannya sekarang.

Aku masih diam memandang Becky, tidak bisa mengalihkan mataku darinya. Dia mengenakan mantel merah tua. Tas kain lusuh sama yang dipakainya terakhir kali saat aku melihatnya. Jins warna pudar. Rambut cokelat lurusnya tergerai. Baru kusadari warna matanya nyaris menyamai rambutnya. Itu sangat indah di balik kacamatanya. Aku tidak bisa berkata-kata untuk menggambarkan bagaimana fantasi terliarku selama beberapa minggu terakhir telah menjadi nyata.

"Johnny!" Carol menepuk bahuku, membuatku tersadar.

Lalu suara lembut lainnya, membuat seluruh tubuhku tersadar seutuhnya. "Permisi, Mrs. Fred. Terima kasih untuk tehnya," kata Becky. Kemudian dia menunduk saat melewatiku. Dia melangkah menjauh. Mataku masih mengikutinya yang berjalan ke trotoar.

Dia pergi. Oh tidak, dia pergi.

"Johnny!" Carol memanggil lagi.

Aku mengabaikan Carol. Persetan. Ada yang jauh lebih penting di sini. "Pete, aku pinjam mobilmu. Kau bawa saja mobilku," kataku cepat-cepat.

"Ada apa, Bung?" tanya Pete heran.

"Berikan saja kuncinya! Cepat!" desakku.

Pete merogoh sakunya dan memberikan kunci mobilnya padaku. Aku berlari mengikuti Becky dan memanggilnya sebelum dia menjauh. Becky berhenti, tapi aku hanya mendapati punggungnya. Dia tidak berbalik.

Tentu saja dia tidak berbalik. Dia tidak pernah menginginkanku.

"Hai!" kataku sambil terengah-engah. Itu baru seratus kaki dari rumah Carol. Tapi jantungku sekaligus sudah terpompa mati-matian sejak berada di ambang pintu rumah Carol.

"Hai." Becky membalas dengan suara seksinya. Dia menunduk. Tentu saja dia menunduk.

"Kau mau ke mana?"

Dia hanya menggeleng.

"Biarkan aku mengantarmu."

"Tidak usah, Johnny."

Aku mengambil tangannya. Kurasakan dia gemetar dan berkeringat. Padahal udara sedang lembab setelah hujan. "Kumohon. Jangan menolak tawaranku."

Becky melihatku sekilas sebelum menunduk lagi. "Tidak usah, Johnny. Kau tidak perlu mengantarku. Aku bisa jalan kaki."

Cursed on YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang