4.3

12.3K 1.1K 17
                                    

Aku bukanlah tipikal pria yang akan bergelung di kasur sepanjang hari dan bermalas-malasan—mengingat ambisiku untuk memajukan perusahaan keluargaku. Ini disebut kerja keras.

Namun bangun lebih awal setelah pelepasan menyenangkan di pagi hari—seraya membayangkan wajah Becky yang malu-malu padaku, rambutnya tergerai menghiasi tubuh mungilnya, kulitnya telanjangnya yang lembut seperti bayi, bibirnya mendekat untuk menggodaku... sial, simpan itu untuk nanti— itu terasa seperti motivasi tersendiri untukku setiap harinya. Belum lagi, keinginan pribadiku untuk menjemput Becky dan mengajaknya berangkat ke kantor bersama—aku selalu semangat untuk itu.

Aku mematut diriku sekali lagi sebelum akhirnya keluar dari balik mobilku. Melangkah dengan sigap, menaiki tangga dengan enerjik karena aku sudah tak sabar melihat wajah pagi hari Becky Narvis yang menawan.

Aku menekan bel sekali. Sebelum sepuluh detik berlalu begitu cepat, Becky telah membuka pintu apartemennya.

"Selamat pagi, cantik," kataku.

Becky tersenyum dan tersipu. Sedikit menundukkan kepalanya untuk menutupi rona di wajahnya seraya mengunci pintu apartemennya. Oh, Tuhan, aku bahkan tidak bisa mengalihkan mataku darinya ketika dia melakukan itu. "Selamat pagi, Mr. Morgan."

Aku menawarkan lenganku padanya dan dia menerimanya—oh, ya, dia tak lagi malu soal itu. Kami menuruni tangga bersama. Hari-hariku selalu berjalan seperti ini dan aku tidak pernah bosan untuk melakukan ini saat pagi hari. Akhir pekan adalah siksaan tersendiri bagiku.

Becky mengenakan blus warna krim dibalut blazer kelabu yang membuatnya terlihat lezat. Rok spannya memperlihatkan kaki jenjangnya yang mengenakan sepatu hak tinggi. Rambutnya tersanggul cukup tinggi, memperlihatkan lehernya. Membuatku ingin membenamkan wajah di sana. Yang bisa kulakukan hanyalah menelan ludah dengan kasar karena wanita itu belum menjadi milikku. "Kau sangat cantik, Bec," kata-kata itu terlontar begitu saja dari mulutku.

Tentu saja aku sangat ingin mencium pelipisnya, mengendus rambutnya yang beraroma bunga setelah mengucapkan kalimat itu. Astaga, berdiri di sampingnya saja membuatku mabuk kepayang.

"Terima kasih, Mr. Morgan," gumamnya sambil menyunggingkan senyum yang selalu membayangiku setiap malam.

Aku membukakan pintu bagian penumpang untuknya, Becky membalasku dengan senyuman menawan. Tidak ada hari tanpa jantung berdegup cepat ketika aku bersamanya.

"Gajimu sudah dikirim, Miss Narvis. Apa kau sudah melihat detailnya?" kataku sambil menyetir. Aku benar-benar harus fokus penuh, menarik diri untuk menatap Becky terus-menerus. Demi Tuhan, aku sedang menyetir.

"Ya. Itu sangat sangat besar, Mr. Morgan. Kau tahu, itu adalah gajiku selama tiga sampai empat bulan di pekerjaanku sebelumnya."

"Sungguh?"

"Ya."

"Seminim itu kah gaji dari NYCR? Kudengar, itu radio yang cukup punya kredibilitas."

"Ya. Tapi aku bukan siapa-siapa, Johnny. Aku hanya di belakang layar, mencari berita. Semacam wartawan yang tidak pernah terlihat."

Hmm, aku membayangkan jika dia menjadi penyiar. Aku pasti akan di depan radio sepanjang hari mendengarkan suara seksinya itu. Mungkin aku akan mengirim kritik dan saran agar Becky Narvis ditempatkan di jam malam agar menjadi pengantar tidurku atau mungkin menjadi teman tidurku...

Kau tetap seorang brengsek, Morgan.

"Aku harus mengembalikan uangmu, Johnny," katanya. Menarik kembali kesadaranku.

"Uang apa?"

"Baju-baju yang kau kirimkan. Mengganti i-Phone. Juga sepertinya kau tidak perlu lagi menjemput dan mengantarku. Aku bisa naik taksi."

Cursed on YouDove le storie prendono vita. Scoprilo ora