Bab 1 [Revisi]

342K 13.5K 197
                                    

Wanita itu terganggu. Perlahan membuka mata karena dering ponsel yang terus berbunyi. Selina ingin mematikan, tetapi begitu melihat id caller si penelepon ia memutuskan untuk mengangkat.

[Apa?]

[Kamu dimana?! Enggak lupakan kalau hari ini harus datang nemuin perwakilan Amaraja?!]

[Amaraja? Amaraja apa?]

[Lin! Kamukan harus tanda tangan kontrak buat nulis website itu!]

[Aku lupa!]

Wanita itu bangun dengan mata melebar dan rambut yang berantakan. Karena begadang untuk menonton drama, Selina jadi lupa tentang janji hari ini.

[Dua jam. Kamu punya dua jam sebelum kontrak itu hangus.]

[Ok. Ok. Aku kesana sekarang. Tolong ulur waktu sebanyak mungkin ya, Ndri.]

[Bodo amat!]

Sambungan terputus. Selina tidak lagi bisa membuang waktu. Tanpa mandi terlebih dahulu, ia hanya membersihkan wajah secepat mungkin, lalu mengambil pakaian yang ada, dan berangkat. Kontrak itu. Sampai mati pun tak akan ia lepas.

******

"Pak cepetan dikit, ya!"

"Ini juga udah cepat, Neng. Nanti kalau saya ditilang gimana?"

"Yasudah. Usahain saja lewat jalan tikus kalau ada, Pak. Saya beneran di ambang kematian ini."

"Ok dah, Neng. Berdoa saja polisi pada enggak jaga."

Keringat mulai membasahi tubuh wanita itu. Terik matahari dan macet jalanan membuat Selina tak lagi memiliki pilihan.

Tak apalah aku lepek gini. Yang penting sampai dan tanda tangan kontrak. Kalau sampai aku melewati kesempatan ini, bisa-bisa puasa sebulan!

*******

"Tolak kontrak ini."

"Baik, Pak"

"Dan Rin, tolong siapkan mobil. Habis ini saya harus pergi bertemu klien."

Si sekretaris hanya kembali menyetujui kemudian pamit. Setelah pintu tertutup, Radit melepas kacamata dan memijat ringan ujung hidungnya.

Lagi-lagi satu hari melelahkan harus aku lewati. Hah..! Tidak bisakah hidup berjalan lebih cepat. Membuatku tak lagi merasa sakit dan bosan.

Pria itu tahu jawabannya. Ia tidak akan pernah bisa lari dan harus menjalani semua itu. Dengan berat ia menghembus napas, lalu kembali memasang kacamata, sebelum akhirnya sibuk pada dokumen yang masih perlu diperiksa.

******

Tinggal setengah jam lagi dan Selina belum juga sampai.

Kenapa pula gedung kantor itu harus berada di pusat kota?! Apa tukang rancangnya tidak tahu kalau jalanan Jakarta selalu macet di sana!

"Memang mau kemana, Neng? Sampai panik banget kayanya."

"Hah?! Apa, Pak?!" Selina sedikit berteriak. Udara yang menerpa serta helm yang ia gunakan membuat fungsi telinga wanita itu berkurang.

"Memang mau kemana, Neng?!" Si supir ojek kini ikut berteriak.

"Tanda tangan kontrak kerja, Pak! Makanya buruan, ya!"

Si tukang ojek hanya diam. Seperti ingin bertanya lagi tapi urung. Mungkin si bapak tak enak untuk bertanya mengenai penampilan aneh Selina.

Rambut yang diikat asal. Kemeja lecek yang telah basah keringat. Flat shoes butut. Dan tentu yang paling aneh adalah kacamata hitam yang digunakan wanita itu.

[End] Behind The ColorWhere stories live. Discover now