Bab 19 [Revisi]

143K 7.4K 33
                                    

"Jelaskan pada gue sekarang. Sebenarnya apa yang sedang terjadi sama lo?"

"Gue ingin dibunuh. Itu saja."

Brak!

"Dan siapa yang mau membunuh lo, brengsek. Kenapa lo ini bisa santai sekali, sih?!"

"Karena ini takdir gue. Gue sedang menjalani kutukan Maria. Wanita itu... Bahkan hingga sekarang tetap menanti gue untuk mati."

Demi yang sempat berdiri kembali duduk. Tidak mengerti arah pembicaraan Radit.

"Apa?! Kutukan?! Maria?! Apa lagi yang lo bicarakan sekarang?!"

Radit menopang dagu dengan satu tangan. Masih menatap Demi, ingin berusaha menjelaskan.

"Gue akan mati. Entah kapan, tapi aura kematian sedari lama terus mengikuti gue. Dan Selina melihat aura itu. Berusaha mengulur kematian gue."

Mata Demi melebar. Makin tak mengerti maksud Radit dan hanya bisa berucap "Hah?"

"Sulit dijelaskan, tapi intinya adalah Selina itu dapat melihat warna. Seluruh warna dengan berbagai arti berbeda dan masa lalu maupun masa depan yang membentuk warna itu. Dan gue... Ia hanya melihat satu warna pada gue, yaitu warna kematian. Itu sebabnya ia selalu menggunakan kacamata hitam saat pergi karena tak mau melihat warna-warna tersebut."

Diam beberapa saat. Demi berusaha menyusun kata. Membuat otaknya mampu menerima setiap penjelasan Radit. Namun, percuma. Ia tetap tidak percaya dengan ucapan sahabatnya itu.

"Bilang bahwa semua hanya karangan lo. Lo sedang menulis novel jangan-jangan?"

Radit menghela napas. Kemudian bersandar pada kursi kerjanya dan melihat Demi dengan tatapan mencemooh.

"Terserah lo percaya atau tidak. Yang jelas gue sudah memberitahu semuanya pada lo."

"Ok. Anggaplah gue percaya, tapi apa yang lo maksud kutukan?! Dan siapa sebenarnya yang ingin membunuh lo ini?!"

"Maria kan membenci gue. Lo tidak ingat, di hari terakhir itu ia mengatakan kutukannya pada gue. Lalu soal seseorang yang ingin membunuh gue, gue pun tidak tahu. Pelaku tadi sama sekali tidak mau membuka suara tentang penyuruhnya."

Demi mulai melihat semua pola. Mencoba mengerti dengan seluruh keanehan yang terjadi akhir-akhir ini.

"Kita harus cari tahu lebih banyak lagi mengenai pelaku itu. Lalu lo... Apa berarti hubungan lo dengan Selina hanya sebatas kerja?"

"Tidak. Gue serius dengannya."

"Lo pasti bercanda. Bukankah lo terus mengingat soal Maria?"

"Karena gue mengingat terus Maria, gue jadi tidak mampu melepas Selina. Mata wanita itu terlihat mirip dengan Maria. Dan lagi gue menyukainya. Entah itu cinta atau bukan. Tapi gue tidak bisa melepas wanita itu sampai kapan pun."

"Jangan gila! Lo jangan lagi melakukan hal itu!"

"Tapi lo tahu gue pasti akan melakukannya, bukan?" Radit tersenyum miris. Sadar akan ironi yang ia ciptakan sendiri dengan tangannya.

******

Selina mengantri

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Selina mengantri. Dengan bosan terus menunggu untuk maju sedikit ke depan. Mungkin karena sekarang hari kerja, jadi manusia yang membutuhkan kafein semakin banyak.

"Hah..." Wanita itu hanya mampu menghela napas. Berusaha sabar sampai tiba gilirannya.

*******

"Americano dua dan Cappucino satu. Take away, ya."

"Totalnya jadi 185 ribu. Atas nama siapa?"

"Selina."

"Silahkan, tunggu sebentar."

Kemudian wanita itu berbalik setelah membayar. Berjalan ke arah satu sudut ruangan untuk duduk di sana. Namun, karena saat itu ia terlalu fokus memasukkan uang kembalian dalam dompet, tanpa sadar Selina menabrak bahu seorang pelanggan.

Dan bayangan itu tiba-tiba muncul. Memperlihatkan seorang pria yang sedang menangis di dalam rumah sakit, lalu ada pula wanita yang terbaring dan pintu terbuka. Radit!

Lalu kepingan itu menghilang. Membuat Selina sadar dan belum sempat ia meminta maaf, pelanggan yang ditabraknya tadi sudah pergi. Dengan warna merah pekat di seluruh tubuhnya. Menandakan marah dan benci secara bersamaan.

Pria itu. Apa hubungan pria tadi dengan Radit?

******

Selina terus berjalan. Dengan membawa kopi di tangan, ia tak sabar untuk menemui Radit dan menceritakan semuanya. Namun, belum sempat wanita itu masuk ruangan kerja tunangannya, Demi telah mencegat dirinya.

"Ada apa lagi?!" Wanita itu mendongak dengan raut kesal.

"Aku hanya ingin meminta kopi dan penjelasan."

"Ini kopimu," ucapnya singkat sembari mengulurkan satu cup kopi ke arah Demi.

"Lalu penjelasan. Mana penjelasanmu padaku?"

"Penjelasan apa?!"

"Matamu. Aku tahu matamu itu bisa melihat warna."

Dan Selina hanya bisa terdiam. Membelalak karena rasa tidak percaya.

"Darimana? Darimana kamu tahu semua itu?!"

*******

Seperti puzzle

Keping-keping kejadian akhirnya mulai tersusun

Membentuk satu hal yang tak pernah kau pikirkan

*****

Ya!

Bab 19 akhirnya up

Jangan lupa vote, follow, sama komentar yaa

-XOXO

[End] Behind The ColorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang