37) Can You Help Me

342K 20.2K 554
                                    

Ocha menatap miris ponselnya yang basah. Ia cepat-cepat mematikan kran setelah Bella pergi. Terlambat! Ponselnya sudah mati, mungkin perlu dikeringkan dulu agar bisa menyala lagi.

"Gawat! Kak Bela udah tau keberadaan gue. Sekarang, gue harus memikirkan cara untuk menghindari Kak Bella. Tapi pertama-tama, gue harus memikirkan cara buat pulang ke asrama."

"Gue harus gimana dong? Gue nggak bisa pulang naik ojek soalnya duit gue habis. Ponsel gue juga mati, jadi nggak bisa telpon Arvind buat jemput gue atau pinjem duit. Heeeeem." Ocha berpikir.

Tidak ada orang yang bisa Ocha mintai tolong untuk saat ini gara-gara ponselnya mati. Ia tak bisa menghubungi siapa pun. Sedangkan uangnya sudah dikuras habis oleh Bella, membuatnya tak bisa naik ojek offline dengan menunggu di depan cafe. Satu-satunya orang yang bisa ia mintai tolong adalah Axel.

"Kenapa harus Kak Axel sih? Dia kan bukan tukang ojek gue."

Ocha berjalan mondar-mandir, berharap ia bisa mencari cara selain meminta tolong pada Axel. Tapi tidak ada cara lain. Jika ia mau pulang ke asrama, satu-satunya cara adalah meminta tolong pada Axel. Kalaupun ia naik ojek offline dan meminjam uang dari Atika saat sampai asrama untuk membayar ojek, ia tetap tidak bisa. Atika selalu tidur jam sembilan tepat. Ocha tak tega membangunkannya.

Ocha mengacak rambutnya sendiri lalu keluar dari toilet untuk menemui Axel di tempat parkir. Syukurlah, Axel masih menunggunya meskipun Bima dan Satria sudah pergi terlebih dahulu.

"Lo udah pesen ojek?" tanya Axel.

Ocha menggeleng malu, enggan mengucapkan kata tolong pada Axel.

"Kenapa belum pesen ojek?" imbuh Axel. "Biasanya lo semangat banget pesen ojek."

Ocha tak bisa menjawab. Ia malu mengatakan bahwa ia tak mempunyai uang sepeser pun untuk membayar jasa tukang ojek.

"Kak Axel..." Ocha masih enggan.

"Hm?" sahut Axel.

"Aku ... boleh minta tolong nggak?"

"Tolong apa?"

"Em ... tolong anterin aku ke asrama."

"Kenapa? Kok tumben?" tanya Axel senang. Ada senyuman yang merekah di kedua sudut bibirnya.

"HP ku jatuh ke wastafel. Jadi basah pas cuci tangan. Jadi aku nggak bisa pesen ojek." Ocha memperlihatkan ponselnya yang basah pada Axel.

"Oooh ya udah. Ayo!" Axel meraih tangan Ocha lalu membukakan pintu mobil untuk Ocha. Ia senang bukan main. Ia mengira Ocha mulai nyaman pada dirinya. Padahal Ocha meminta tolong karena benar-benar terpaksa.

***
Axel memasuki perpustakaan dengan hati senang, tak sabar bertemu Ocha. Ia bahkan merindukan Ocha setiap detik, ingin selalu bersama Ocha kapanpun dan dimana pun. Kini dunianya adalah Ocha.

"Lagi belajar apa?" tanya Axel yang duduk di sebelah Ocha.

Ocha menoleh sebentar ke arah Axel lalu kembali fokus mengerjakan soal. "Matematika," jawabnya singkat.

"Bab apa?"

"Bab logika."

"Oooh. Gue sih nggak bisa bab logika."

"Masa' sih?"

"Iya. Soalnya sejak kenal elo, gue jadi nggak punya logika."

"Apaan sih? Basi!" Ocha melotot marah, merasa geli dengan rayuan Axel.

Axel tiba-tiba ingin menjaili Ocha. Ia merebut buku Ocha dan melayang-layangkannya ke udara. Ocha mendengus kesal, meloncat-loncat untuk mengambil bukunya yang sengaja Axel angkat tinggi-tinggi.

"Kak Axel, balikin!" geram Ocha.

"Ambil aja kalau bisa." Axel malah menjulurkan lidahnya.

"Iiiih Kak Axel."

Suara mereka mengganggu siswa-siswa lain yang ada di perpustakaan, membuat mereka menjadi sorotan. Tak ada yang berani menegur. Tidak ada yang berani berurusan dengan Axel meskipun mereka terganggu karena kegaduhan. Semua orang memilih diam dan hanya melihat.

Sean tercekat saat memasuki perpustakaan. Melihat Axel dan Ocha yang tampak akrab, membuat Sean tak lagi pada titik terusik. Tapi sudah pada titik kemarahan yang memuncak. Bagi Sean, tidak ada seorang cowok pun yang boleh dekat dengan Ocha kecuali dirinya.

Sean cukup kehilangan akal sehatnya. Ia melupakan janjinya pada Pak Radeyasa, almarhum kakeknya. Ia berjalan cepat ke arah Axel, meraih buku Ocha dan mengembalikan buku tersebut pada Ocha. Semua orang tercekat, namun tak ada yang berani berkomentar. Mereka kaget karena mereka tak pernah melihat Sean dan Axel berinteraksi satu sama lain. Keduanya biasa terlihat saling menjauhi satu sama lain.

"Jangan ganggu dia atau lo harus berhadapan dengan gue," ancam Sean tegas.

Salah satu sudut bibir Axel terangkat, merasa konyol dengan ancaman Sean.

"Ayo!" Sean meraih pergelangan tangan Ocha dan mencoba mengajaknya pergi. Namun dengan cepat, Axel memegang pergelangan tangan Ocha yang lain, membuat Ocha terhenti di antara dua orang paling berbahaya di Delton.

"Lo nggak bisa ngajak anak orang seenaknya, Yan!" kata Axel tak kalah tegas.

"Ini apa-apaan sih?" Ocha melepaskan kedua tangannya dari Sean dan Axel.

Seketika Ocha teringat dengan apa yang dikatakan Sean bahwa keluarga Radeya dan keluarga Ardiaz tidak boleh saling berseteru. Ocha tidak bisa membiarkan Sean dan Axel bermusuhan.

"Kak Sean, sebenarnya Kak Axel nggak ganggu aku kok. Tadi itu cuma bercanda doang," jelas Ocha, mencoba meredam amarah Sean. Tapi malah membuat Sean semakin marah. Kalimat Ocha seperti pembelaan untuk Axel. Sean cemburu. Ia tidak suka.

"Iya. Tadi cuma bercanda doang," imbuh Axel setelah menurunkan egonya. Ia masih ingat janji yang telah ia buat pada Pak Ardiazid, almarhum kakeknya.

Sean tak peduli dengan semua penjelasan itu. Dia marah karena tak suka dengan kedekatan Ocha dan Axel. Sean meraih kembali tangan Ocha dan membawa Ocha ke rooftop sekolah, meminta penjelasan apa yang sebenarnya terjadi.

😊😊😊😊😊
Penasaran?

Apa yang terjadi selanjutnya?

Komen dan vote untuk penyemangat author ya....

Sean memakai seragam Delton

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sean memakai seragam Delton


Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


I am in danger [TERSEDIA DI GRAMEDIA]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang