38) Are You A Psychopath?

349K 21.4K 885
                                    

Sesampainya di rooftop, Sean berdiri di tepi, melihat deretan pepohonan tabebuya dengan salah satu tangan tenggelam di saku celana. Ocha berdiri di sampingnya. Ia juga melihat ke depan, ke arah deretan pepohonan tabebuya.

"Aku sangat berterima kasih karena Kakak selalu bantuin aku. Tapi aku nggak pengen Kakak melanggar janji penting hanya karena aku," jelas Ocha.

"Elo sekarang jauh lebih penting daripada janji gue pada kakek gue. Sekarang, elo adalah prioritas gue," sahut Sean dalam hati.

"Kak Axel udah nggak jahatin aku kok. Dia sekarang baik banget. Dia sering bantuin ak-"

"Stop! Jangan bahas soal Axel lagi," potong Sean tegas, membuat Ocha menoleh ke arahnya setelah terperanjat.

Ocha meneguk ludah. Entah mengapa ia merasa bahwa Sean benar-benar marah padanya. Nada suara Sean terdengar sinis tak seperti biasanya. Itu semua karena Sean tak suka mendengar pembelaan Ocha terhadap Axel. Cemburu. Itulah satu-satunya kata yang bisa menjelaskan alasan mengapa Sean marah besar.

Sean mengalihkan pandangannya dari deretan pepohonan tabebuya. Kini ia melihat ke arah Ocha. Ia mengeluarkan tangannya dari dalam saku celana, menarik ikat rambut Ocha hingga membuat rambut Ocha tergerai, membiarkan angin sepoi menyapu lembut rambut Ocha.

"Jangan ikat rambut lo. Jangan biarkan Axel ganggu lo. Jangan biarkan cowok lain dekat sama lo kecuali gue," kata Sean. Ia hanya ingin memiliki Ocha seutuhnya tanpa tahu hal apa yang harus ia lakukan untuk mendapatkan hati seorang cewek.

Dahi Ocha berkernyit, heran mengapa Sean bersikap seperti seorang pacar. Padahal Ocha hanya menganggap Sean sebagai salah satu orang baik yang ia kenal. Ia menghargai kebaikan Sean, tapi hal itu bukan berarti membuat Sean berhak mengatur kehidupannya. Meskipun Ocha memiliki rasa suka pada Sean, tetap saja hal itu tak membuat Sean memiliki hak atas dirinya.

"Kak Sean, maaf sebelumnya. Tapi ... aku rasa Kak Sean tidak berhak mengatur kehidupanku." Ocha memprotes.

"Maksud lo apa?" tanya Sean tak terima. Ia semakin kesal karena Ocha tak menurut.

"Ya ... karena kita bukan siapa-siapa. Aku hanya menganggap Kakak sebagai salah satu temanku. Aku menghargai Kakak sebagai Kakak kelas yang baik. Tapi bukan berarti, Kakak bisa mengatur aku," jelas Ocha.

Sean terdiam sejenak, mencerna penjelasan Ocha dengan baik. Ocha benar. Ia tidak memiliki hak untuk mengatur kehidupan Ocha. Ia bukan siapa-siapa. Keluarga bukan. Pacar juga bukan.

"Gue akan memikirkan cara agar lo nurut sama gue," kata Sean lalu berjalan ke arah pintu keluar, bertepatan saat bel berbunyi.

"Dasar cowok aneh!" umpat Ocha pelan.

Ocha berjalan cepat kembali ke kelasnya. Namun ia terhenti saat melihat seorang cewek berkepang yang tak sengaja menjatuhnya sebuah foto di koridor.

"Tunggu! Lo jatuhin sesuatu woi!" teriak Ocha. Namun sayang, teriakan Ocha tak didengar oleh cewek berkepang dua tersebut. Ia melesat pergi entah kemana.

"Tuh cewek larinya kenceng banget kayak kuda poni," keluh Ocha.

Ocha menghela napas lalu mengedikkan bahu. Jika cewek berkepang dua itu tidak bisa ia panggil, ya sudah. Ocha tak berniat menghabiskan tenaga untuk mencarinya. Masih banyak hal yang harus Ocha lakukan untuk membiayai Faril. Memikirkan kepentingan orang asing, bukanlah prioritas.

Ocha melihat tulisan di belakang kertas foto tersebut. Di sana tertulis 'Dia psyco dan aku suka dia'. Dahi Ocha berkerut, lalu membalik kertas foto itu. Matanya membelalak lebar saat melihat Sean di dalam foto tersebut.

I am in danger [TERSEDIA DI GRAMEDIA]Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon