Playlist 8 : Esa Hilang Dua Terbilang

508 74 25
                                    

Kalau otak semua orang sama harusnya aku juga jenius kaya Einstein atau paling nggak selevel sama Karl Marx atau Max Weber

___

Sehari setelah kembalinya dari kampung halaman, anak-anak kontrakan langsung mengajakku pergi liburan ke Taman Safari. Entah dalam rangka apa, aku hanya ikut saja karena kebetulan belum pernah ke sana. Tentu saja aku juga mengajak Danu, walau sudah tahu dia tidak begitu suka binatang.

Lalu senin paginya aku memantapkan niat pergi ke perpustakaan kampus untuk mencari referensi skripsi. Aku pergi sendiri kali ini karena Danu masih ada tugas yang harus diselesaikan.

“Mau kemana kak Eca? tumben jam segini udah rapi.” Lana berujar dari sebrang meja makan ketika aku sedang mengisi botol minum.

“Ke kampus.” Aku menjawab tanpa meliriknya.

“Wadaw tumben.”

“Lagi niat.”

“Berangkat sama kak Danu?”

“Naik ojol!”

“Tumben!”

“Lo punya kata lain selain tumben gak sih?” Aku meliriknya sebal sedangkan Lana hanya nyengir tanpa dosa lalu kembali menekuni sarapannya.

“Jangan marah-marah mulu kak Eca nanti cepet tua.”

Tanpa mempedulikan celotehan Lana, aku memasukan botol minum ke dalam tas lalu segera memesan ojek online. Sebetulnya lebih murah naik transjakarta sih, tapi aku tidak mau karena trauma. Dulu aku pernah jalan-jalan keliling Jakarta naik transjakarta dengan Blenda, lalu naasnya Blenda mengalami hal tidak menyenangkan ketika seorang lelaki hidung belang memegang pantatnya dengan sengaja.

Sejak itu aku jadi takut naik transjakarta apalagi kalau jam-jam kantor yang membuatku harus berdesak-desakan. Memang sih sudah ada petugas keamanan, tapi nyatanya saat bis penuh mereka tidak bisa mengawasi sepenuhnya.

Aku memang tidak secantik Blenda, tapi tetap saja kan aku seorang wanita. Bisa jadi para lelaki hidung belang itu juga berniat memangsaku. Maka dari itu sebelum kejadian, lebih baik aku menghindarinya. Untunglah selama ini selalu ada Danu dan Jupri yang sukarela mau menjadi ojek pribadiku. Maka aku tidak perlu repot-repot harus naik angkutan umum. Kecuali kalau keduanya sedang sibuk seperti sekarang.

Tak lama kemudian aku sudah sampai di depan gedung perpustakaan kampus yang entah kapan terakhir kali aku menginjakan kaki di sini dan untuk pertama kalinya setelah 23 tahun hidup di dunia, aku dapat menghabiskan waktu seharian di perpustakaan untuk membaca buku dan contoh-contoh skripsi para alumni, bukan untuk numpang ngadem atau nyari wifi kenceng seperti yang sering kulakukan.

Sepertinya pulang dari sini aku harus menandai kalender dan mengabadikan hari bersejarah ini. Bayangkan saja otakku tidak meledak setelah kujejali berbagai macam buku yang selinier dengan jurusanku—yang notabenya aku benci itu.

Lalu aku juga berhasil menuliskan beberapa materi yang kuuanggap sedikit menarik dan akan aku pertimbangkan untuk dijadikan topik skripsi. Aku juga memutuskan untuk meminjam beberapa buku referensi. Membuat kartu perpustakaanku akhirnya berguna tidak hanya sebagai pajangan dompet saja. Omong-omong aku baru menggunakannya sejak aku membuatnya beberapa tahun lalu ketika aku masih berstatus sebagai mahasiswa baru.

Bukannya aku tidak mau menggunakan, aku hanya tidak punya kesempatan untuk menggunakannya. Habisnya perpustakaan kampus isinya buku-buku berbau keilmuan saja, tidak ada koleksi komik kesukaanku.

“Mbak, hapenya bunyi.” Aku menoleh ke arah seseorang yang baru saja berujar padaku. Saking fokusnya aku jadi tidak sadar kalau ponselku bergetar menampilkan panggilan masuk dari Danu. Rupanya hari sudah sore. Setengah jam lagi mungkin perpustakaan akan segera tutup.

Playlist: End to Start [END]Where stories live. Discover now