Playlist 18 : Mungkin Saatnya Menyerah

354 78 28
                                    

Kalimat demi kalimat yang ia lontarkan seperti tombak yang menghunjam dada. Mengejutkan dan sangat menusuk.

____

Pukul dua siang, aku bergegas ke kampus setelah mendapat pesan dari Bu Ema yang menyuruhku untuk menemuinya hari ini juga. Katanya ada yang ingin dia bicarakan terkait proposal skripsi yang sudah hampir jadi itu.

Di depan ruang dosen, aku menarik napas dalam-dalam sebelum menarik knop pintu dan masuk ke dalam sana. Sosok Bu Ema terlihat sedang fokus menatap layar laptop di depannya. Sepertinya dia belum menyadari keberadaanku.

Aku mendekat dan berhenti tepat di depan mejanya. “Selamat siang Bu.”

Bu Ema mendongkak sambil membenarkan letak kacamatanya. “Oh, Naresya. Duduk-duduk!”

Aku menurut sementara beliau kembali fokus pada layar laptop selama beberapa menit sebelum membalikan laptopnya jadi menghadap ke arahku. Sontak aku memandangnya bingung.

Karena Bu Ema tidak mengatakan apapun, netraku beralih pada layar laptopnya yang kini menampilkan lembar microsoft word. Aku membaca sederet kalimat yang dicetak dengan huruf tebal. Kalimat itu tidak asing, mirip seperti judul skripsiku walau ada beberapa diksi yang berbeda, tapi intinya sama.

Kupikir awalnya Bu Ema hendak menyuruhku merevisi judulku, tapi ketika melihat sederet nama di bawahnya, kedua mataku sontak melotot.

“Milaina Kinasih?” Tanpa sadar aku membaca ulang nama tersebut dengan suara alih-alih berguman dalam hati.

“Dia adik tingkat kamu.” Bu Ema membenarkan posisi laptopnya ke tempat semula.

“Tadi pagi Ibu baru ditunjuk jadi dosen penguji Nak Milaina lalu setelah Ibu lihat proposal skripsinya, judulnya sama kaya punyamu. Bukan cuma judul, tapi lokasinya pun sama.”

Keterkejutanku bertambah setelah mendengar ucapan Bu Ema barusan. Kebetulan macam apa ini? Memangnya masuk akal ada dua orang yang mengajukan judul skripsi sama dengan lokasi yang sama pula?

“Karena Nak Milaina lusa sudah mau sempro, jadi terpaksa kamu yang harus ngubah proposalnya.”

“Gimana Bu?” Aku mengerjap cepat.

“Jurusan tidak akan menerima judul skripsi yang sama apalagi dengan fokus penelitian dan lokasi yang sama. Secara garis besar proposal kalian mirip, metodenya pun hampir sama. Bedanya di tujuan nomor dua saja dan punya Nak Milaina hanya fokus ke penelitian kualitatif.”

Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan pada Bu Ema. Jadi aku hanya diam saja membiarkan otakku berpikir keras untuk mencari jalan keluar walau ujungnya tidak menghasilan apapapun

“Kamu boleh tetap ambil topik ini asal lokasi atau fokus penelitiannya diganti.”

Diganti?

Badanku langsung lemas. Untuk sampai ke titik ini saja aku sudah berusaha keras, apalagi kalau harus mengubahnya dan mengulangnya lagi dari awal. Bisa mati duluan aku.

“Tapi Bu—”

“Maaf Naresya, soalnya punya Nak Milaina sudah terdaftar duluan. Dia juga sudah menjalin kerja sama dengan lembaga terkait karena katanya kebetulan pernah jadi volunteer di sana. Makanya ini Ibu langsung ngabarin kamu.”

Hasil kerja kerasku selama ini hancur dalam sekejap. Rasanya tenaga yang telah kugunakan selama pembuatan proposal, terbuang sia-sia. Kalau sudah begini aku harus bagaimana? Apa ini jawaban dari Tuhan bahwa aku lebih baik menyerah saja?

“Coba cari-cari tau lokasi lain, nanti baru kita diskusikan lagi. Hari ini Ibu ada jadwal sampe sore.”

“Baik Bu.” Aku mengangguk pasrah lalu pergi dari ruangan Bu Ema dengan perasaan gamang. Aku tahu ini mungkin tidak seberapa, tapi aku mendadak ingin menangis saat itu juga.

Playlist: End to Start [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang