Playlist 26 : Minta Maaf Katanya

361 71 23
                                    

Gue sadar gue gak akan pernah bisa menang dari lo dan gue gak mungkin bisa ngerebut Danu dari lo.

____

Setelah cukup bersenang-senang selama beberapa hari terkahir, aku harus kembali pada realita dimana seonggok proposal terbuka di atas meja. Menampilkan beberapa coretan yang diberikan sang dosen pembimbing sebagai tanda bahwa bagian tersebut harus direvisi.

Iya, direvisi!

Kata itu sudah sangat membuatku muak, lebih muak daripada saat aku mendengar kalimat 'Dasar wibu bau bawang!' yang diucapkan orang-orang golongan julid.

Ingin mengeluh, tapi aku sudah terlalu sering mengeluh sampai rasanya aku sudah bosan mendengar keluhanku sendiri. Karena toh yang dikeluhkan itu-itu lagi.

Maka dengan segenap niat tersisa, aku membuka laptop, membuka dokumen skripsi dan melakukan pemanasan terhadap jari-jariku sebelum berperang melawan ribuan kata yang terpampang di mircosoft word. Bu Ema bilang ini revisian terakhir, setelah itu aku boleh mendaftar sempro.

Satu jam.

Dua jam.

Tiga jam.

Akhirnya selesai juga. Tidak disangka aku kuat bertahan selama itu tanpa ke-distrack apapun. Padahal malam itu seharusnya episode baru Boruto sudah keluar, tapi aku memilih fokus dengan skripsi. Sungguh sebuah hal yang sangat luar biasa mengingat biasanya aku tak seperti itu.

Kuregangkan badan hingga menimbulkan bunyi dari tulang dan sendi-sendi, memijat pelan bahu yang terasa pegal dan meneguk pelan capucchino dalam gelas yang tinggal separuh.

Bunyi detik jarum jam bersautan dengan suara Yoasobi yang kali ini menemaniku dengan lagu mou sukoshi dake. Sesekali aku ikut bersenandung atau hanya bergumam mengikuti iramanya.

Beberapa detik sebelum lagu itu habis, seseorang mengetuk pintu dari luar. Saat kubuka, Iris ada di sana. Berdiri sambil menyerahkan nasi kotak yang entah didapatkannya dari mana.

“Itu tadi Iris dapet dari tempat magang, buat Kak Eca aja. Iris udah makan,” katanya sebelum aku sempat bertanya.

“Tempat magang kamu enak banget ya tiap hari bagi-bagi makanan?” Iris cuma senyum lalu kembali ke kamarnya.

Dua hari lalu Iris memberiku donat, katanya itu juga dari tempat magangnya. Iris sengaja memisahkannya untukku sebelum habis dimakan anak-anak lain—atau lebih tepatnya dimakan Alana.

“Makasih ya Iris!” teriakku sebelum membawa nasi kotak itu ke dalam kamar dan melahapnya dengan agak terpaksa karena sesungguhnya aku sedang malas makan. Andai saja para ilmuan sudah ada yang membuat alat yang bisa memindahkan makanan langsung ke dalam perut tanpa perlu menguhnyahnya—seperti yang ada di spongebob episode Atlantis—aku akan dengan senang hati menjadi pelanggan pertama.

Oke lupakan. Mungkin di masa depan alat itu akan benar-benar ada.

※※※

Kata orang, usaha tidak akan pernah mengkhianati hasil. Selama ini aku meragukannya, tapi sekarang untuk pertama kalinya aku percaya kebenaran kata-kata itu.

Setelah dua minggu full berkutat dengan proposal skipsi yang nyaris membuatku depresi, akhirnya satu langkah berhasil kulewati. Dengan bangga aku bisa memberitahu Sam, anak-anak Arumdalu, serta Jupri bahwa aku sudah seminar proposal.

Iya, Bu Ema akhirnya menyetujui proposalku lalu tanpa menunggu lama, aku segera mengurus surat-surat dan mendaftar sempro ke jurusan. Sam yang pertama kukabari, memekik senang. Katanya tinggal sedikit lagi aku bisa lulus, aku iya-iya saja meski tahu sebenarnya jalanku masih panjang. Aku masih harus penelitian ke lapangan, mengolah data, sidang, revisi dan mengurus hal-hal lainnya yang dengan memikirkannya saja sudah membuatku lelah.

Playlist: End to Start [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang