Playlist 23 : Rindu

333 71 18
                                    

Kamu nggak akan bisa ngebayangin kaya apa sakitnya kehilangan sosok ibu di hidup kamu. Bener-bener another level of pain.

____

Aku dan Jupri sudah tiba di stasiun sejak tiga puluh menit yang lalu. Memperhatikan orang-orang yang berlalulalang sembari menyeret koper atau menjinjing tas-tas besar.

Berkali-kali aku melirik arloji di tanganku. Sudah pukul lima sore, seharusnya kereta yang ditumpangi Rindu akan segera tiba. Tapi lima belas menit kemudian saat para penumpang lain yang berada di kereta yang sama dengan Rindu sudah keluar satu persatu, sosok Rindu tak kunjung terlihat.

Aku menatap cemas pintu keluar. Takut terjadi apa-apa pada Rindu sebab dia tidak membalas pesanku sejak pagi. Ditelepon pun tak diangkat. Aku tadi hanya menerima laporan dari Bude Ranti kalau Rindu sudah beberangkat.

“Masih belum ada kabar?” tanya Jupri yang kembali berdiri di sampingku setelah membeli minuman dingin.

Aku menggeleng pelan sambil mencoba menghubungi Rindu. Di luar sana, langit mulai menggelap. Sang mentari sudah tidak tampak, mungkin sudah berada di belahan bumi lainnya untuk mengemban tugas abadinya menyinari bumi.

“Kita nggak bisa masuk ke dalem ya?” gumamku sambil menggenggam ponsel kuat-kuat. Kedua mataku tak lepas dari arah pintu keluar. Berharap akan menemukan sosok gadis berambut pendek dengan tampilan boyish sambil menggendong ransel dengan sebelah tangannya.

Namun, sampai adzan magrib berkumandang, sosok itu tidak pernah muncul. Aku semakin cemas dan berniat menghubungi Bude Ranti saat tiba-tiba melihat pop up pesan bertitel nama Rindu.

Buru-buru aku membukanya. Mungkin ini jadi pesan yang paling aku tunggu-tunggu dalam seminggu terakhir. Mencemaskan seseorang rasanya tidak menyenangkan, aku benci perasaan seperti itu.

Kupikir aku akan mendapat kabar baik setelah membaca pesan dari Rindu, tapi yang kudapat justru sebaliknya. Pesan yang saudaraku kirimkan itu membuatku ternganga di tempat saking bingungnya harus bereaksi seperti apa. Aku benar-benar tidak habis pikir dengan jalan pikiran Rindu.

Rindu :
Mbak aku gk jadi ke jkt, sekarang aku ada di jogja. Jgn dibilangin ke mama ya mbak tolong banget. Nanti aku bakal pulang sesuai jadwal dan pura-pura habis dari jkt. Aku minta tolong banget mbak sekali ini aja.

“Kenapa Na?” Menyadari perubahan ekspresi wajahku, Jupri bertanya keheranan.

“Rindu nggak jadi ke Jakarta.”

“Hah?” Bingung menjelaskan, aku menunjukkan pesan dari Rindu kepada Jupri yang serta merta berhasil membuat raut wajah lelaki itu berubah juga.

Kami saling pandang selama beberapa detik. Entah aku yang masih mencoba memproses kejadian ini atau Jupri yang menungguku memutuskan sesuatu.

Maka kuputuskan untuk membalas pesan Rindu. Menanyakan apa alasannya tidak jadi ke Jakarta dan malah pergi ke Jogjakarta yang mana terlalu tiba-tiba menurutku. Masa dia langsung mengganti arah tujuan?

Eh, atau jangan-jangan Rindu sudah merencakan ini semua sejak awal? Bisa saja dia sudah membeli tiket kereta lain untuk hari yang sama lalu berpura-pura akan pergi ke Jakarta saat orang tuanya mengantarnya ke stasiun—Aku yakin Bude Ranti tidak akan membiarkan Rindu pergi ke stasiun sendirian yang mana jaraknya lumayan jauh dari kediaman kami.

Sambil menunggu balasan dari Rindu, aku sibuk berspekulasi. Aku memang tidak begitu dekat dengan Rindu, tapi aku tahu dia bukan anak pembangkang yang suka membohongi orang tuanya. Rindu malah dikenal anak yang penurut lantaran selalu mengikuti apa-apa yang diucapkan Bude Ranti kepadanya. Terkadang sanak saudara kami yang lain membanding-bandingkan aku dan Sam dengan Rindu sampai kami muak mendengarnya.

Playlist: End to Start [END]Where stories live. Discover now