Playlist 29 : Senyum dan Air Mata

434 78 30
                                    

Aku bukannya menyerah, aku hanya sedang memantaskan diri.

____

“Makasih Danu udah nganter aku, selamat juga udah sidang.”

“Iya. Kamu juga semangat skripsinya, katanya kamu udah selesai penelitian.”

“Iya masakasih.”

Dua orang yang dulu banyak melakukan konversasi bahkan untuk hal-hal yang tidak begitu penting, kini hanya bercakap sebagai formalitas belaka. Ada tembok pemisah diantara kami yang tentu saja penciptanya adalah diriku sendiri.

Aku yang membuat semuanya jadi seperti sekarang, tapi apa boleh buat. Danu tampak lebih baik tanpa diriku, dia seakan kehilangan beban yang selama ini membelenggunya. Walau tak dapat dipungkiri bahwa rasa itu masih ada bahkan tanpa perlu repot-repot disembunyikan di sudut hati terdalam.

Segala kenangan bersama Danu juga masih tesimpan rapi dalam memori, tidak bisa dilupakan dan tidak ingin pula dilupakan. Danu adalah orang pertama selain Ibu yang sering hadir dalam lamunan, dalam mimpi serta dalam setiap hal-hal kecil yang aku lakukan terkadang membawa ingatan tentang Danu.

Seperti ketika Iris memberiku yoghurt dan berpesan mengingatkanku agar tidak lupa makan aku selalu saja teringat sosok Danu yang dulu tak pernah absen melakukan hal serupa. Ah, dasar memang perempuan. Aku yang memutuskan, aku yang galau.

“Aku pulang dulu ya Na?” Suara Danu terdengar setelah beberapa detik aku turun dari mobilnya. Kuanggakukan saja kepala, tanpa senyuman atau lambaian seperti dulu.

“Hati-hati.” Satu kata itu menjadi penutup konversasi kami hari itu dan setelahnya kami tak pernah lagi bertemu. Aku sibuk dengan skripsiku sementara Danu, entahlah aku tidak tahu apa yang akan dia lakukan.

Sampai suatu hari—entah di minggu yang ke berapa—Danu mengirimku pesan. Isinya tentang dia yang sebentar lagi akan wisuda dan mengharapkan kehadiranku di hari bahagiannya.

Aku bergeming lama menatap ponsel, menimbang-nimbang apakah aku harus datang atau tidak. Lalu kemudian kujawab insyaallah saja sebab aku masih belum bisa memutuskan.

Berhari-hari aku memikirkannya, dan sewaktu aku sudah memutuskan, semesta memberiku jawaban yang lain. Tepat setelah aku membeli kado wisuda untuk Danu, aku mendapat jadwal sidang yang mana tanggalnya bertepatan dengan tanggal wisuda Danu.

Sebuah drama rupanya kembali menyambangi hidupku.

Satu embusan napas menguar kasar. Aku hanya meratapi bingkisan kado itu yang baru saja kubeli. Pikirku mungkin sehabis sidang—kalau sempat—aku akan pergi menemui Danu.

Maka di hari-hari berikutnya, aku hanya fokus menyiapkan diri untuk sidang skripsi yang meski menakutkan, sudah kutunggu-tunggu sejak lama.

Tak ada yang tahu soal sidang skripsiku selain Sam dan Jupri pada awalnya. Romeo terpaksa kuberi tahu sewaktu dia mengajakku datang bersama ke wisuda Danu lalu anak-anak Arumdalu baru kuberitahu di hari aku akan melakukan sidang. Itupun tak kurencanakan, karena sejujurnya aku ingin memberitahu mereka nanti saja setelah sidangnya selesai.

“Kak Eca rapi bener udah kaya orang mau ngelamar kerja,” celetuk Lana pagi itu sewaktu kami sarapan bersama di meja makan.

“Sebenernya hari ini aku mau sidang.” Tiap-tiap pergerakan keempat anak Arumdalu seketika terhenti dengan sepasang manik yang serempak mengarah padaku.

“Sidang skripsi?” tanya Lana tanpa berkedip. Aku mengangguk saja.

“Loh, kok baru bilang?” Disusul suara Kak Shelma yang tak kalah kagetnya. Aku cuma nyengir.

Playlist: End to Start [END]Where stories live. Discover now