Playlist 27 : Romeo

379 74 14
                                    

“Santai aja, lagian kayanya kita seumuran,” ucap seorang lelaki jangkung dengan senyum ramah yang menghiasi wajahnya. Dia Romeo, anak sulung pemilik yayasan tempatku melakulan penelitian skripsi.

Dengar-dengar, Bu Liana yang seharusnya kutemui hari ini—yang juga merupakan ibunya Romeo—sedang dirawat di rumah sakit paska operasi pengangkatan tumor beberapa hari yang lalu. Alhasil sekarang yang ketemui bukan beliau, melainkan anak sulungnya yang punya paras menawan sekaligus tinggi badan di atas rata-rata orang kebanyakan.

Aku nggak akan kaget kalau dia bilang tingginya dua meter karena dia memang setinggi itu. Aku merasa sedang berhadapan dengan Murasakibara, eh nggak deh dia ketinggian. Midorima Shintarou lebih cocok sepertinya.

“Berhubung aku lagi senggang, nggak apa-apa kalau aku aja yang nemenin? Aku cukup hapal kok anak-anak di sini,” ujar Romeo ramah.

Ehm ... penawaran yang cukup menggiurkan sebenarnya. Pasti akan lebih menyenangkan pergi dengan Romeo sebab kami bisa berbicara santai seolah aku sedang bersama temanku, daripada aku ditemani salah satu guru di sini yang mana aku pasti harus berbicara formal. Maka dari itu aku mengiyakan saja.

Lalu Romeo membawaku menemui murid-murid di sana.

Dia mengenalkanku pada seseorang bernama Lunara. Seorang anak perempuan yang sangat luar biasa jika kudengar dari cerita Romeo soal anak itu. Katanya Nara sudah buta sejak berusia empat tahun, tapi alih-alih menjadi beban orang tua, Nara tumbuh menjadi anak yang sangat membanggakan.

Beberapa kali dia menjuarai lomba melukis, beberapa kali juga dia diundang ke pameran para pelukis ternama. Nara adalah anugerah yang Tuhan berikan dengan cara yang berbeda.

“Dari suara Kakak, Nara bisa ngerasain kalau Kakak cantik banget. Nama Kakak juga bagus.” Penuh pujian, Nara menyambut sesi perkenalan kami dengan sangat antusias.

“Kamu juga cantik kok, nama kamu juga bagus. Lunara artinya bunga kan?” Nara mengangguk sembari tersenyum.

“Kata Kak Romeo, Kak Nares mau ketemu Nara?” Wajahnya menghadap ke arahku, tapi tatapannya kosong. Betapa aku sangat menyayangkan orang seperti Nara harus dilahirkan tanpa indra penglihatan.

“Iya, Kakak lagi penelitian terus mau nanya-nanya ke Nara boleh nggak? Katanya kamu suka banget melukis.”

Mendengar kata melukis, Nara spontan mengangguk cepat. Rupanya dia benar-benar mencintai dunia canvas dan apa-apa yang menjadi warna di atasnya.

“Kakak suka ngelukis juga nggak? Mau ngelukis bareng Nara?”

“Boleh.” Aku menyanggupi anak berusia dua belas tahun itu setelah mendapat anggukan dari Romeo pertanda bahwa dia mengijinkan.

“Kak Nares mau ngelukis apa?” tanya Nara sembari menyiapkan alat lukisnya sendiri. Ia meraba-raba meja dan meletakan segala hal yang dia butuhkan di atasnya. Aku menarik kursi di sebrang dan duduk berhadapan dengan Nara.

“Ehm apa ya?” Aku sibuk berpikir selagi Romeo menyiapkan alat lukis untukku.

“Bunga?” Romeo menyahut sambil mendudukkan dirinya di sampingku. Aku menoleh. “Tadi katanya Lunara itu artinya bunga kan?”

Aku mengerjap lalu mengangguk menyetujui ide romeo. “Yaudah aku gambar bunga.”

“Kalau nama Kak Nares artinya apa?” celetuk Nara membuatku terdiam beberapa saat.

Pikiranku seketika melanglang buana saat ingatan masa lalu tiba-tiba mencuat ke dalam kepala. Suara anak kecil menggema di telinga, bayang-bayang sosok ibu yang tersenyum hangat ketika menjawab pertanyaan sang anak, terputar jelas layaknya menonton kembali film yang telah usang.

Playlist: End to Start [END]Where stories live. Discover now