32. Curiga

683 129 24
                                    

"Terkadang gua mikir, gimana rasanya hidup sebagai makhluk hidup yang lain? Misalnya menjadi tumbuhan... atau mungkin hewan?"

Joy nampak menoleh kepada Wonwoo yang sedari tadi terus berceloteh mengenai hal-hal yang tidak ia mengerti. Entah karena efek minuman yang ia teguk dari diskotik tadi, atau memang topik percakapan Wonwoo yang berat, tapi intinya Joy tidak paham bagaimana cara menimpali ucapan pria disampingnya ini. 

"Udah bagus-bagus lo dikasih rupa sebagai manusia, ngapain lagi mikirin mau jadi hewan sama tumbuhan?" Balas Joy sembari menepis sebuah kunang-kunang yang tengah mengarah kepadanya. Demi apapun, ia benci serangga-serangga kecil seperti ini. 

Wonwoo tersenyum miring mendengar jawaban Joy dan menunduk dalam sebelum kembali menatap kedepan dan menghela nafas pelan, "Kayaknya enak aja gitu, hidup di alam liar, bertingkah sesuka hati mereka, dan yang mereka pikirkan adalah bagaimana caranya supaya bisa bertahan hidup. Sudah..."

"Gak semudah itu, Jeon Wonwoo" 

"Hm, benar juga sih"

"Dan anehnya, sekarang ini gua melihat lo seperti orang yang mau menyerah dari semua tekanan yang ada sama lo. Padahal gua inget banget kalau kemarin-kemarin itu, lo bilang ke gua kalau lo pingin ngerasain yang namanya berjuang. Tapi pas waktunya sudah tiba, lihat apa yang lo lakukan sekarang? Lo kabur dari kenyataan" Joy menatap pria itu dari atas kebawah dan kembali menatap kedepan, membuat Wonwoo sedikit merasa terkucilkan dibuatnya. 

Tapi, dia memang sepengecut itu sih. 

Mungkin tanpa ia sadari, dirinya memang sudah terlahir sebagai seorang pecundang. Contoh lah hubungannya dengan Sana sejak mereka SMP. Jika saja dulu Wonwoo bisa tegas dengan semua siswi yang mengancam Sana, mungkin mereka tidak perlu mengakhiri hubungan mereka. Lalu saat SMA, kalau saja Wonwoo bisa berpegang teguh pada prinsip hidupnya, pasti ia tidak akan terjerumus pada taruhan konyol itu. 

Belum lagi ketika kesalahan itu benar-benar terjadi, dan yang ia lakukan hanya meminta maaf dan ragu untuk mengatakan yang sejujurnya. Padahal seharusnya, entah penting atau tidak, entah didengarkan atau tidak, ia harus tetap berjuang demi menyatakan kebenaran itu. Bukannya menyerah dan bersikap seolah tidak ada apa-apa. Sekalinya ingin bergerak, pasti selalu terlambat. 

Memang benar ternyata, jika wanita identik melakukan tindakan menggunakan perasaanya, maka pria identik melakukan sesuatu dengan akal pikiran atau logikanya. Ya, sama seperti pria pada umumnya, Wonwoo pun merasa dirinya seperti itu. Dibalik kecerdasan dan takdir istimewa yang ia miliki, ada satu kekurangan yang Wonwoo pendam selama ini. 

Yaitu tentang perasaanya. 

"Semuanya pasti berlalu Wonwoo, gak mungkin selamanya lo bersedih, dan gak mungkin selamanya lo bahagia. Jadi, gak perlu pergi ke tempat-tempat kayak gini cuman buat menenangkan pikiran..." ujar Joy lagi. 

"Sama aja kayak lo ke diskotik. Menurut gua, tempat yang bisa bikin gua tenang itu ya disini" balas Wonwoo. 

Tak ada balasan, sebab gadis itu hanya mengangguk setuju dan menghela nafasnya lagi untuk kesekian kalinya. "Gua gak pernah ngerti kenapa tempat gelap dan penuh nyamuk kayak begini bisa bikin lo ngerasa nyaman. Tapi syukurlah gua masih inget omongan lo dulu, jadinya gua bisa nemuin lo disini" ujar gadis itu pada akhirnya, tentu masih dengan tangannya yang sibuk menepis serangga-serangga kecil yang hinggap ditubuhnya. 

"Karena lo datengnya malam, jadinya lo berfikir kalau tempat ini aneh dan banyak nyamuk. Coba sekali-kali lo kesini pas siang atau pagi"

"Asalkan gua datengnya sama lo, gua mau-mau aja kesini"

"Ck!"

Sadar bahwa perkataanya barusan hanya dianggap angin lalu, gadis satu itupun hanya tersenyum dan menyikut lengan Wonwoo sekilas sembari bertanya, "Btw, lo tahu tempat ini darimana sih Won? Maksud gua... kok lo bisa gitu ketemu tempat semacam ini disini?"

TRAUMAWhere stories live. Discover now