37. Seribu Tahun Kedamaian (5)

2.3K 454 41
                                    


Suster Wita sudah meninggalkan kamar sejak setengah jam yang lalu, suasana kamar gelap gulita. Cahaya hanya jatuh dari lampu teras, masuk dari jendela di kepala tempat tidur dan sisi samping tempat tidur. Suasana tidak biasanya selengang ini. Hanya ada suara gemericik hujan yang menetes pelan, Bestari melihat ke arah jendela, melihat bulir-bulir air turun lambat di jendela.

Kelopak mata Bestari sudah terasa berat, dan kelopak matanya sedikir bergetar, hampir menutup ketika terdengar suara Suster Wita dari belakangnya. "Bestari?"

Bestari membalik badannya di kasur, menghadap Suster Wita. Tapi kemudian Bestari menyadari Suster Wita tidak sendirian, ada sosok menjulang di belakangnya, tersembunyi di kegelapan kamar.

Bestari berusaha bangkit dari tidur dan duduk di ranjang, selimut tebal yang menutupinya saat Bestari berbaring tadi merosot, menampakkan baju tidur tipis dengan renda di leher. 

Suster Wita buru-buru mendatangi Bestari, membantunya duduk dan membantunya menutupi bagian depan dadanya dengan selimut.

Saat Bestari menatap sosok lain itu, Bestari menyadari dia mengenalinya.

Munggar masih berdiri di kegelapan, seperti segan untuk menghampiri terlalu dekat. 

"Aa?" panggil Bestari, bingung. 

Munggar terlihat tertegun mendengar panggilan itu, tapi lalu melangkahkan kaki, kini Munggar berdiri di tengah siraman cahaya lampu teras dari jendela.

Suster Wita dan Bestari yang sama-sama duduk di ranjang, mendongak ke arah Munggar.

Wajah Munggar terlihat kaku, dan ekspresinya keras dan dingin seperti bilah baja.

Bestari hendak memanggil Munggar lagi, tapi Munggar kembali berjalan maju, mendekati ranjang Bestari.

Lalu sembari menundukkan badan sedikit, agar wajahnya sejajar dengan wajah Bestari, Munggar bertanya, suaranya jernih dan penuh ketegasan.

"Bestari... kalau malam ini ikut Aa pulang.... mau?"

***

Saat Bestari pertama kali membuka mata, dia ada di ruang ICU, segalanya terasa menyakitkan.

Tapi kemudian dia menoleh ke sisi ranjang dan dia melihat Indah, ibunya yang selama ini tak pernah peduli pada nasibnya setelah perceraian dengan ayah, ada di sisinya, dan Bestari ingat ia amat bahagia. 

Bestari tidak bisa bicara kala itu, karena ada selang masuk ke tenggorokannya, dia juga tidak tahu dia sakit apa... tapi kemudian dia tersenyum saat menatap Indah, dan berusaha mengangkat tangannya, minta dipeluk.

Indah melihat gestur Bestari, dan yang tadinya hanya terisak sedikit, kini menangis histeris. Indah menciumi Bestari, pipi dan punggung tangan Bestari dikecup tak berhenti, sampai dua suster harus menarik Indah pergi. 

Beberapa dokter lalu masuk dan mendekati ranjang ICU Bestari, mengambil darah dan melakukan pemeriksaan.

Beberapa hari kemudian, Bestari dipindah ke HCU, dan setelah kesehatannya stabil, Bestari keluar dari rumah sakit yang besar dan mewah itu, dibawa menggunakan ambulans pada tengah malam-- sepenuhnya sadar--melewati jalanan panjang yang sepertinya jalan tol. 

Bestari ingat dia sangat mengantuk malam itu, tapi tak pernah benar-benar bisa tidur dalam kabin ambulans. Tak sampai satu jam, ambulans yang membawanya sampai ke bangunan ini.

Bestari tidak tahu apa namanya--terlalu besar untuk dibilang klinik, terlalu santai untuk disebut rumah sakit, terlalu serius untuk dibilang rumah peristirahatan.

Andai Kita Tak Pernah JumpaWhere stories live. Discover now