24. Senandung Rembang Petang

2.6K 448 80
                                    

Munggar merasa ada yang salah dengan yang dia katakan, karena Ribka langsung mengangkat kepala, matanya gadis itu membulat.

Tapi sebentar saja, karena kemudian senyum Ribka merekah dan matanya melengkung seperti bulan sabit.

Apa pun yang Munggar katakan barusan, membuat Ribka terkejut, lalu kemudian gembira.

Munggar melirik Bestari, hendak menilai reaksi perempuan itu, tapi Bestari tidak sedang menatap Munggar. Bestari sedang mengulurkan tangan dan menarik perlahan kaus seragam Ribka.

"Ribka, tehnya..." Bestari mengingatkan dengan suara setengah berbisik.

Otomatis Ribka menunduk, menyadari dia mengisi cangkir untuk Munggar hampir terlalu penuh dan buru-buru berhenti. "Pak Munggar, maaf--"

Saking penuhnya, permukaan teh di cangkir Munggar terlihat sedikit cembung, sedikit gerakan saja akan membuat teh itu tumpah ke pisin yang jadi alas cangkir.

Munggar segera memotong ucapan Ribka dan mengibaskan tangan. "Tak apa, tak apa... nanti saya angkat cangkirnya pelan saja. Gorengan juga tak perlu diambilkan, saya ambil sendiri saja..." kata Munggar.

Ribka tersenyum semingrah, dan menggangguk. Dia lalu kembali duduk di samping Bestari.

Munggar mengambil cangkir tehnya, membiarkan isinya tumpah sedikit, lalu menyesap teh panas yang wangi dan sedikit manis itu.

Ribka duduk tegap di kursi samping Bestari, menatap Munggar. Sisa senyum lebar yang tadi masih tersisa. Dia menatap Munggar penuh harap, lalu menatap Bestari penuh harap, lalu kembali menatap Munggar penuh harap.

Munggar meletakkan cangkir tehnya. Dalam keadaan normal, dia akan terang-terangan mengatakan pada Ribka soal keanehan ekspresi gadis itu. Mungkin sesuatu seperti, Bu Ribka, otot wajahmu kenapa?

Tapi Munggar menahan diri, karena suasana hatinya sedang bahagia.

Orang lain mungkin tidak bisa melihat kebahagiaan di wajah Munggar karena raut mukanya selalu datar, plus bibir Munggar yang tipis, memberi kesan bahwa Munggar selalu dirundung kecewa sepanjang hari.

Tapi hati Munggar meletup-letup penuh kebahagiaan, sejak Bestari meneleponnya tadi–menelepon Munggar duluan–sesuatu yang tidak pernah perempuan itu lakukan sebelumnya.

Bestari membuka percakapan dengan menanyakan kabar Amira, menanyakan kabar Isti, kabar Dewi, lalu lanjut menanyakan kabar Munggar.

Sepanjang Bestari menelepon, Munggar bisa mendengar sayup-sayup suara Ribka di latar belakang telepon Bestari...

Bu, jangan lupa ajak Pak Munggar ke sini Bu...

Bu, bilang kita beli gorengan banyak Bu...

Bu, Ibu...

Jantung Munggar berdebar kencang mendengar ucapan Ribka. Karena kalau benar yang Ribka katakan...

Sudah empat hari sejak Munggar terakhir bertemu dengan Bestari.

Empat hari... Munggar selalu berada di RS, yang jaraknya hanya sepuluh menit jalan kaki dari tempat tinggal Bestari.

Selama empat hari itu, Munggar rutin menelepon dan menanyakan kabar Bestari. Setiap sesi telepon mereka, Munggar menimbang-nimbang untuk membuat janji temu, tapi dia sadar dengan siapa dia bicara.

Sepanjang menemani Amira menunggui Isti, Amira terus-menerus mengoceh tentang betapa kerennya Bestari, betapa legendarisnya pilihan-pilihan bisnis perempuan itu, semuanya terlalu spektakuler, hampir seperti orang yang bisa melihat masa depan.

Mendengar Amira membicarakan Bestari seperti itu mengingatkan Munggar akan Dewi dua tahun lalu, saat mamanya mulai menjadi relawan Yayasan Tenang Hati. Kala itu, Munggar dan Galuh hanya mengangguk-angguk, dan saling bertatap penuh arti, tiap kali makan malam mereka mendadak berubah jadi sesi pemujaan terhadap Bestari Pandhita.

Andai Kita Tak Pernah JumpaWhere stories live. Discover now