22. Aku Tetap Ingin Mencoba (6)

2.3K 475 67
                                    

Setelah berkata begitu, Munggar menurunkan tangannya perlahan.

Bestari tahu, karena sekumpulan keluarga yang sedang menangis itu perlahan kembali terlihat olehnya.

Kelopak mata Bestari mengerjap.

Bestari bukan orang yang sering bertindak gegabah, tapi khusus kali ini, kemampuan berpikirnya seolah konslet dan refleksnya mengambil alih.

Dia masih ingin Munggar menutupi pandangannya.

Dia masih ingin seseorang berusaha menghalanginya dari kesedihan dan kesusahan hati.

Untuk pertama kalinya dalam kehidupannya kali ini, Bestari ingin istirahat.

Istirahat.... sebentar saja....

Entah kerasukan apa, Bestari mengangkat tangannya sendiri dan menggenggam erat pergelangan tangan Munggar, menahannya agar tetap di tempat.

"Tunggu sebentar lagi..." kata Bestari, pelan.

Dia tahu Munggar berlulut di belakang kursinya. Dia tak perlu bicara telalu keras, Munggar pasti bisa mendengar.

Detak nadi Munggar terasa di bawah jemari Bestari, berdenyut pelan dan stabil. Aroma tubuh Munggar memenuhi indra penciuman Bestari, dan sebaliknya, aroma tubuh Bestari yang beraroma samar-samar melati, teh dan sabun wangi juga melingkupi Munggar.

Tidak ada balasan dari Munggar selama beberapa lama. Suara tangis keluarga itu makin buyar dan makin berganti bisikan pelan.

Telapak tangan Munggar masih menghalangi pandangan Bestari.

Tangan Bestari masih menggenggam pergelangan tangan Munggar.

Bunyi jarum jam di ruang tunggu terasa berdetak lambat.

Bestari mengatur napasnya perlahan.

"Amira bilang...." Munggar membuka percakapan.

Amira bilang...

Detik itu juga, rasanya Bestari ingin melepaskan pergelangan tangan Munggar dari genggamannya.

Kini menggenggam Munggar, yang tadinya dilakukan tanpa berpikir, jadi terasa seperti menggenggam bara api.

Digenggam terus terasa menyiksa, tapi dilepas juga hampir tak bisa.

"...Bu Bestari punya perasaan yang halus dan bisa merasakan penderitaan orang lain," Munggar meneruskan ucapannya.

"Begitu ya..." kata Bestari datar, dengan gerakan senatural mungkin, dia melepaskan pegangannya dari tangan Munggar, lalu bergeser dua bangku, membuat posisi mereka menjadi diagonal, tidak lagi depan-belakang.

Keluarga pasien yang tadi sudah membubarkan diri, hanya tersisa dua orang bicara dengan suara rendah, lainnya sudah berjalan menuju lift sembari berpelukan.

"Ya, mungkin karena Bu Bestari menangis saat melihat Amira tadi, jadi dia berpendapat begitu..." kata Munggar.

Munggar bangkit dari posisinya lalu duduk di bangku. Lelaki itu menatap lurus ke depan tatapan mata kosong. Nyaris tanpa sadar, Munggar mengusap pergelangan tangannya, masih ada sisa hangat genggaman Bestari di sana.

Bestari menoleh sedikit ke belakang... ke arah Munggar. "Sekarang mana Mbak Amira? Kenapa Pak Munggar sendiri di sini?"

Ingatan Bestari samar tentang malam kecelakaan sekaligus malam kematian ayahnya itu... tapi dia ingat betul Munggar tak pernah meninggalkan sisinya.

Kala itu Munggar bahkan jauh lebih muda dari Munggar yang sekarang. Dengan penuh rasa bersalah dan rasa tanggung jawab, Munggar menemani Bestari selama berhari-hari, dari mulai mengurusi administrasi rumah sakit, membantu mengurus pemakaman dan proses administrasi panjang yang perlu dilalui saat salah satu anggota keluarga meninggal.

Andai Kita Tak Pernah Jumpaजहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें