9. Ada Seseorang Yang Kucintai (3)

3.9K 650 67
                                    

Setelah berkata begitu, kepala Rafa menekuk lemas hingga dagunya menempel ke dada.

Bestari menunggu sebentar, sebelum akhirnya berdiri dan membungkukkan badan sedikit.

"Aku pulang dulu, Pak Rafa.." kata Bestari, meski tahu tidak akan ada jawaban. Pil-pil dari Guxiang terlanjur membawa kesadaran Rafael Wijaya melayang entah kemana.

Setelah kembali menegakkan badan, Bestari  berdiri bergeming menatap Rafa.

Bagian depan kemeja Rafa kini terlihat merah oleh darah—padahal tadinya cuma ada sedikit darah saja, merah seperti kuncup bunga.  Seiring makin banyak darah keluar dari hidungnya, warna merah itu makin merekah dan makin lebar.

Bestari hanya bisa menghela napas, balik badan, dan berjalan berjalan meninggalkan Rafa. Begitu Bestari sudah cukup jauh dari Rafa, bawahan-bawahan Rafa yang sedari tadi bersembunyi di sudut-sudut gelap ruangan, tergopoh-gopoh keluar dari persembunyiannya dan mendekati Rafa.

Bestari tak sekalipun menoleh ke belakang.

***

Bestari membuka pintu ruang perpustakaan dan mendapati Andreas dan Munggar sedang berdiri berdekatan, jarak antara kepala mereka terlihat agak dekat.

Saat melihat Bestari keluar dari dalam ruangan, baik Andreas dan Munggar masing-masing menarik kepala mereka dan berdiri tegak.

Bestari menatap Andreas, lalu bergantian menatap Munggar.

Bestari punya firasat dia sedang menganggu pembicaraan penting mereka--apa pun itu.

Tapi kini ada yang lebih penting lagi.

"Pak Andreas?" tanya Bestari, melangkah mendekati Andreas. "Apa benar? Pak Rafa akan mengambil Langkah Terakhir tanggal 4 bulan depan?"

Andreas mengangguk. "Begitulah, Bu... Ibu sudah dengar sendiri ya dari Pak Rafa? Sekalian pamitan, bulan depan kami tidak akan bersilaturahmi ke rumah Bu Bestari lagi."

Terdengar suara berdeham dari arah Munggar saat Andreas mengucapkan kata silaturahmi, tapi baik Bestari maupun Andreas sama-sama mengabaikannya.

"Tidak mau coba Memoria saja?" tanya Bestari, wajahnya berkerut khawatir.

Bahkan Bestari, yang merasa bahwa hidupnya kali ini hanyalah bagian dari penebusan, yang merasa bahwa sekarang mati pun tak mengapa karena semua cita-citanya telah tercapai, masih merinding kalau mendengar kata Guxiang atau Langkah Terakhir.

Seseorang harus cukup putus asa untuk bisa mendatangi Guxiang dan meminum obatnya.

Tapi untuk mengambil Langkah Terakhir?

Seseorang harus benar-benar tidak punya pilihan lain. Untuk mengambil Langkah Terakhir, artinya sudah pasrah... hidup syukur, meninggal di meja perawatan Guxiang juga terima saja.

Apa yang Bestari dengar soal Guxiang membuatnya takut.

Bestari juga bisa melihat kilat kekhawatiran di wajah Andreas. Kalau tebakan Bestari benar, maka Andreas sendiri tidak setuju Rafa mengambil Langkah Terakhir.

Bertindak penuh perhitungan sudah jadi makanan Bestari sehari-hari.  Menilai sesuatu dari untung rugi sudah mendarah daging baginya.

Bahkan dalam keadaan seperti ini, Bestari bisa menilai bahwa mengambil langkah terakhir akan jadi mimpi buruk untuk keberlangsungan usaha real estate milik Rafa. Enam bulan belakangan, Rafa sudah cukup menelantarkan usahanya dalam upayanya mencari Naila. 

Kalau masih harus ditambah ditinggal Rafa menjalani Langkah terakhir, serta bulan-bulan pemulihan yang menyerttainya...

Bestari tidak bisa membayangkan bagaimana perusahaan Rafa akan bertahan.

Andai Kita Tak Pernah JumpaWhere stories live. Discover now