16. Dari Aku, Yang Selalu Mengingatmu (5)

2.6K 508 45
                                    

"Menurut Pak Armin.... apakah beliau tersinggung? Karena saya membentaknya tadi?" tanya Ribka pelan.

Ribka duduk di samping ranjang, tidak meninggalkan sisi Bestari sedetik pun sejak Munggar membaringkan Bestari di sana.

Armin yang sedang menggulirkan jemari di layar ponselnya, duduk di sofa tunggal tempat Bestari sebelumnya duduk, mengangkat wajah mendengar pertanyaan Ribka.

Armin meluruskan kaki kanan, agar dia lebih mudah memasukkan ponselnya ke kantung celana. Saat dia sedang melakukannya, Armin tak sengaja melirik ke sisi lengan sofa, terlihat di beberapa bagian, darah Bestari memercik di sana.

Armin cepat-cepat memalingkan wajah dan menatap Ribka, berusaha mengalihkan perhatiannya.

Melihat sisa darah Bestari membuat perasaan Armin jadi tidak nyaman.

Sekuat tenaga, Armin lalu berkonsentrasi menjawab pertanyaan Ribka.

Meski hanya ada satu orang beliau di kamar ini, Armin tetap berusaha memastikan, "Beliau siapa? Munggar?" tanya Armin.

Ribka mengangguk.

Di suasana yang lebih santai, Armin mungkin tertawa.

Dia jarang mendengar Munggar disebut beliau, tapi rupanya pegawai-pegawai Tenang Hati memang orang pilihan. Sopan santun mereka tidak tergoyahkan meskipun mereka menghadapi manusia semacam Munggar.

Tapi saat Armin menatap wajah Ribka lagi, dia tidak tega untuk menjawabnya dengan bercanda.

Secara keseluruhan, ekspresi wajah Ribka jauh lebih tenang daripada sebelumnya. Meski dia tadi seperti kesurupan saat melihat Munggar mendekap dan membopong tubuh Bestari, tak bisa dimungkiri posisi Bestari yang sekarang jauh lebih nyaman daripada kalau dibiarkan duduk tertidur di sofa semalaman.

Pendarahan di hidung Bestari sudah berhenti. Meski Armin tidak tahu apa bedanya orang pingsan dan orang tidur, melihat napas Bestari yang tenang dan teratur, melihat Ribka yang terlihat sudah mulai mengkhawatirkan hal lain seperti "Apakah beliau tersinggung...", Armin bisa menebak kalau keadaan Bestari sudah tidak segawat tadi.

Armin menelan ludah, Baru kali ini dia melihat orang yang menjalani pengobatan Gu Xiang. Paket-paket Gu Xiang amat mahal, tak seperti Memoria, yang termurah sekitar lima ratus juta rupiah dengan paket termahal mencapai delapan miliar. Salah satu lelucon soal pengobatan Gu Xiang adalah, tanaman herbal dari planet mana yang harganya setara dengan satu Lamborghini Aventador?

Karenanya pasien Gu Xiang biasanya tidak jauh-jauh dari istri politikus X, putra konglomerat Y, pengusaha sukses Z.

Hanya saja, dari semua orang yang kaya dan berpengaruh yang bisa mengambil pengobatan Gu Xiang, sulit dipercaya Bestari Pandhita salah satunya.

Meski Ribka berkali-kali menekankan pada Armin untuk menjaga rahasia ini, Armin tahu, bahkan kalau dia keluar dari kamar ini sekarang, lalu menceritakan pada sepuluh orang pertama yang dia temui bahwa Bestari Pandhita, pendiri Tenang hati, merupakan pasien Gu Xiang, tidak akan ada yang mempercayainya.

Bahkan sampai sekarang, Armin pun masih kesulitan mencerna fakta ini.

Tapi setidaknya, itu menjelaskan beberapa hal, seperti mengapa Ribka hanya bertingkah seolah Bestari sedang flu biasa saja meski perempuan itu mengalami pendarahan dari sana-sini. 

Kalau hal yang sama terjadi padanya, misalnya Munggar mendadak kesakitan tengah malam dan mendadak mengalami perdarahan hebat, Armin hampir yakin dia akan menghubungi pihak hotel untuk membantunya membawa Munggar ke rumah sakit malam ini juga.

Satu-satunya alasan Ribka bertingkah histeris malam ini hanya karena dia melihat Bestari dalam gendongan Munggar saja.

Armin menoleh ke arah sofa tempat kini Munggar berbaring memunggungi mereka.

Andai Kita Tak Pernah JumpaKde žijí příběhy. Začni objevovat