38. Seribu Tahun Kedamaian (6)

2.3K 460 99
                                    

"Kalau yang ini, suka nggak?" tanya Munggar. Mereka sedang duduk di meja makan rumah keluarga Munggar, menghadap dua mangkok bubur.

Bestari sedang menyendokkan buburnya dengan hati-hati, sebelum memasukkannya ke mulut...

Bestari hanya memasukkan satu jenis taburan ke sendoknya di tiap suapan. Suapan ini, pakai kacang kedelai goreng. Suapan berikutnya, pakai seledri. Berikutnya, suwiran ayam.

Tiap gerakan Bestari lambat dan tiap kunyahannya lebih lambat lagi. Tapi Munggar hanya menatap Bestari dengan sabar, tak terlihat seperti memburu-buru jawaban.

Bestari menelan buburnya lalu mengangguk. "Suka," katanya.

Tiap sarapan, Munggar selalu membeli sarapan untuk Bestari dan selalu bertanya soal pendapat Bestari.

Bestari selalu menjawab enak karena toh yang penting makanannya cukup halus untuk ditelan. Bubur Cianjur dengan kuah kari ayam seperti hari ini, bubur peranakan dengan ayam kukus jahe seperti kemarin.

Kalaupun ada satu dua hal sepele yang tidak cocok, Bestari memastikan dia tidak akan mengeluh. Tinggal di rumah Munggar jauh lebih enak daripada tinggal di klinik di Cisarua itu, baik dari soal makanan maupun kenyamananya.

Ada Wita dan dua ART keluarga Munggar yang ikut tinggal di rumah ini sejak Bestari menginap di rumah Munggar. 

Khusus untuk sarapan Munggar yang selalu memilihkan sarapan Bestari tiap pagi, sesuai persetujuan Wita yang sekaligus memastikan makana Bestari cukup nutrisi dan cukup kalori.

Makan siang dan malam baru apa saja yang dimasak ART keluarga Munggar, di bawah pengawasan Wita.

"Besok nanti kita coba tinutuan ya, bubur Manado?" tanya Munggar.

Bestari mengangguk, lalu kembali menyuap buburnya.

"Bestari?" panggil Munggal.

Bestari menoleh menatap Munggar. "Ya?"

Munggar mengusapkan ibu jari ke pipinya sendiri, tapi Bestari salah mengira; dia mengira Munggar meminta Bestari mengusap pipi Munggar.

Jadi Bestari mengulurkan tangan kirinya, dan merangkum sisi wajah Munggar, lalu menggunakan ibu jarinya, Bestari mengusap pipi Munggar.

Munggar terlihat menelan ludah dengan susah payah. Lelaki itu mengulurkan tangan lalu merangkum sisi wajah Bestari. "Maksud aku, ada bubur nempel di pipi kamu, aku seka ya..." kata Munggar meminta izin.

Setelah berkata begitu, Munggar menyeka sisa bubur di pipi Bestari.

"Kita makannnya pindah aja apa gimana sih?" kata Ribka pelan, pada Wita, yang sejak tadi ada di meja yang sama dengan Bestari dan Munggar, sama-sama sedang sarapan bubur.

Baik Munggar dan Bestari sama-sama menarik tangannya dari pipi yang lain.

Bestari tersenyum pada Ribka, dan mengangguk kecil. "Di sini saja, nggak apa-apa..."

Wita hanya tersenyum sambil tetap menunduk dan tetap memakan buburnya, "Iya Mbak Ribka, di sini saja," kata Wita. "Ini karena Mbak Ribka baru sekali ini ikut sarapan, nanti lama-lama juga terbiasa."

"Biasanya emang begini?" tanya Ribka, terbelalak.

Bestari melirik Munggar yang kini sudah kembali menikmati sarapannya, pria itu sepenuhnya tidak terganggu dengan pertanyaan Ribka. seolah dia tidak merasa ada yang perlu dijelaskan dan membiarkan Ribka sibuk bertanya-tanya, atau kalau Wita mau membantu menjelaska, biarkan Wita yang menjelaskan.

Jadi, Bestari meneladani tingkah Munggar dan kembali mengambil sesendok bubur dari mangkok.

Tidak ada yang perlu dijelaskan....

Andai Kita Tak Pernah JumpaWhere stories live. Discover now