18. Aku Tetap Ingin Mencoba (2)

2.2K 462 44
                                    

Bestari merasa mendengar suara alunan lagu.

Paviliunnya tak berisi banyak barang elektronik, dia tak punya laptop atau komputer, tidak punya TV, penyetel lagu apalagi speaker.

Bestari, yang sedang duduk sendirian di meja makan di ruang tengah sembari minum teh, mengernyitkan dahi. Perempuan memasang telinganya baik-baikk sebelum kemudian berdiri, mendorong kursi yang dia duduki hingga mundur dan berjalan perlahan menuju kamarnya.

Seperti yang sudah diduga, suara itu berasal dari dalam laci nakas, tempat Bestari meletakkan ponsel yang diberikan Munggar dua hari lalu.

Bestari duduk di sisi ranjang, sebelum menarik kenob laci nakas dan melihat isi dalamnya.

Munggaran A.  memanggil....

Bestari menatap ponsel itu, lalu menggeser lambang telepon di layar, dan meletakkan ponsel ke telinganya.

Terdengar suara seperti dalam kendaraan yang sedang berjalan sebagai latar belakang, lalu kemudian suara Munggar. "Selamat sore, Bu Bestari?"

"Pak Munggar... selamat sore," balas Bestari.

"Hari ini aku kirim charger dan headset, sudah diterima?" tanya Munggar.

Salah satu pegawai yayasan datang mengirimkan paket-paket tadi siang, mungkin salah satunya dari Munggar. Belum ada satu pun yang dia buka, jadi Bestari tidak bisa memberi jawaban yang pasti, dia hanya bisa jawaban yang mungkin akan menenenagkan Munggar. "Sepertinya sudah."

"Sepertinya sudah?" tanya Munggar. "Jadi sudah apa belum?"

Bestari melepas sandal dan membaringkan dirinya di ranjang.

Matahari sore memasuki jendela kamar yang ditutup vitrase tipis, sementara angin sore membuat vitrase itu mengembang dan mengempis, membawa serta aroma dari semak melati yang ditanam di sisi belakang paviliun.

Sungguh sebuah sore yang sempurna untuk mendengarkan omelan Munggar lagi.

"Saya dapat beberapa paket siang ini tapi belum membukanya satu per satu. Kurasa salah satunya merupakan paket dari Pak Munggar... kalaupun belum datang hari ini, selalu ada besok. Bagaimana? Apakah penjelasan saya sudah cukup memuaskan?"

Meski Bestari hanya bisa mendengar suara Munggar, dia hampir yakin pria itu sedang mengernyitkan dahi. "Memangnya baterai hapenya belum habis? Kan sudah dua hari..."

Bestari menjauhkan ponsel dari telinganya, mengecek indikator baterai di layar. "Masih 47 persen," kata Bestari.

"Oh." Hanya itu saja yang bisa dikatakan Munggar. "Bu Bestari tak terlalu menggunakannya ya..." Suara pria itu terdengar melunak.

Bestari duduk sejenak, mengambil selimut tipis yang terlipat di kaki ranjang, menariknya menutupi kaki dan kembali berbaring. Bestari mendadak merasa amat mengantuk, dan meskipun tidur sore adalah ide buruk, tapi mungkin kalau cuma lima belas menit tak akan kenapa-kenapa.

"Pak Munggar memintaku membawa ponsel ini untuk mengabari kapan aku menyelesaikan pengobatanku di Gu Xiang kan? Jadi kurasa aku hanya akan menggunakan ponsel ini sesuai amanat Pak Munggar."

"Jadi gimana, sudah ada tanggalnya?" kejar Munggar.

Bestari menatap kembali vitrasenya, yang menggembung lalu mengempis bersama dengan datangnya angin sore, kelopak matanya terasa makin berat.

Andai Kita Tak Pernah JumpaWhere stories live. Discover now