part 5

13.1K 742 22
                                    

Bismillah

#part 5

#by: R.D.Lestari.

Tong! tong! tong!

Bunyi kentongan terdengar nyaring bertalu-talu di pagi hari itu. Pak RT Johan sejak tadi sudah menunggu di Pos Kamling bersama beberapa orang polisi.

Warga Desa Beringin satu persatu muncul dan berkerumun, mereka bertanya-tanya, apa sebab kentongan di bunyikan.

Apalagi adanya beberapa Polisi dan mobil Patroli

Tak ada yang menduga, jika maksud dari Pak RT mengumpulkan warga karena ingin mengusut tentang pengeroyokan hingga melayangnya nyawa seseorang.

Warga yang sudah berkumpul saling menatap dan bertanya-tanya. Mereka pun berbisik-bisik penasaran.

Karena di rasa sudah cukup ramai, Pak RT meraih toa dan mulai berbicara.

"Selamat pagi Bapak-bapak dan Ibu-ibu, sore ini saya akan menyampaikan sesuatu yang penting kepada semua warga di sini. Mohon kooperatif dan jangan ribut selama proses penyelidikan,"

"Penyelidikan? penyelidikan apa, Pak?" tanya seorang Ibu berbaju orange.

"Kita akan menyelidiki siapa-siapa yang menjadi dalang dari pengeroyokan Bapak Mulyono malam itu hingga ia tewas," jawab Pak RT dengan tegas.

Beberapa orang yang berada di sana gemetar. Kejadian malam itu yang mereka kira tak akan berbuntut panjang, karena merasa begal pantas mendapatkan pelajaran.

"Bapak Polisi ini akan meminta keterangan tentang kejadian malam itu. Semua orang tanpa terkecuali. Harap bicara jujur dan jangan coba-coba berbohong," lugas, tangkas dan tanpa senyum di wajah.

Satu persatu warga yang merasa turut andil dalam pengeroyokan melipir, hendak melarikan diri.

"Jangan coba-coba kabur! ingat! ancaman akan lebih berat jika berani kabur dan bersaksi bohong!" ancam Pak Polisi.

Warga yang berniat kabur, tak berani kembali melangkah menjauh. Mereka terpaksa diam di tempat.

Mereka kemudian di bawa ke balai desa secara bersamaan. Pak RT dan beberapa perangkat Desa kembali menyisir ke rumah-rumah untuk mencari warga yang tidak ikut kumpul di balai Desa.

Semua warga harus memberi kesaksian, terlepas mereka benar atau salah, ikut atau tidak dalam pengeroyokan yang menyebabkan hilangnya nyawa seseorang.

***

"Bu... Bu Bidan ...,"

Tubuh wanita yang sedikit berisi itu menggeliat. Matanya mengerjap. Berulang kali ia mengucek matanya dan menyisir sekitar.

"Dimana saya?"

Ia menatap heran ibu yang memangku bayi dan seorang gadis yang kini duduk di sampingnya.

"Ibu ... Saya Indah, dan itu Ibu saya yang melahirkan tadi malam..," jelas Si Gadis dengan lugas. Gadis berpakaian lusuh itu menatap dengan khawatir.

Bu Bidan Dewi terdiam. Ia berusaha mengingat kejadian tadi malam hingga ia bisa berada di rumah sederhana ini.

Seketika tubuhnya bergidik saat ia ingat semua ia alami. Siluet wajah Bapak yang datang dan memboncengnya itu berkelebatan di pikirannya.

"Bapak itu ... hiiiii,"

"Apa benar, Bu, Bapak saya yang jemput Ibu tadi malam? saya kok rasanya ga percaya ya, Bu," gadis yang tak lain adalah Indah itu bertopang dagu. Sesekali ia menoleh ke arah ibunya yang sedang menyusui.

Sedang Danang masih tertidur didekat ibunya. Sejak semalam bocah itu hanya tiduran dan tak mau jauh dari ibunya.

"Iya, tentu aja saya bicara jujur. Bapak itu sama seperti Bapak yang saya temui tadi malam," ia menunjuk foto keluarga berukuran kecil di ruangan itu.

Indah dan Bu Kartini serentak menatap arah telunjuk Bu Bidan. Jantung Indah berdetak kencang. Begitupun Kartini. Ia bingung dengan kejadian yang baru saja mereka alami.

"Emh, Bu Bidan silahkan sarapan dulu. Ini ada ubi rebus, dan maaf kami tak punya apa-apa selain ini," indah menyodorkan sepiring ubi rebus pada Bu Bidan.

Bu Bidan Dewi yang awalnya takut berubah kasihan saat gadis muda itu menatapnya sendu.

"Terima kasih, In. Oia, pukul berapa sekarang? saya harus kembali ke klinik untuk memeriksa pasien," ujar Bu Bidan sembari merapikan pakaiannya.

"Pukul delapan, Bu," Indah menunjuk jam dinding tua yang menggantung di dinding rumahnya.

"Ya ampun, sudah siang," Bu Bidan langsung berdiri dan meraih tas yang ia bawa.

"Ibu ... sarapan dulu, Bu," Indah masih berusaha seramah mungkin. Ia merasa sangat berhutang budi dengan Bu Bidan Dewi karena membantu persalinan ibunya dengan sangat baik.

"Ga usah, In. Ibu hanya minta tolong dianter sampai simpang, ya. Jujur Ibu masih shock dengan kejadian tadi malam," pinta Bu Bidan. Raut wajahnya masih menunjukkan ketakutan, membuat Indah kasihan dan merasa bersalah.

"Baik, ayo, Bu," Indah beranjak dari duduknya. Namun, sebelum itu Ia berpamitan dengan ibunya termasuk Bu Bidan.

"Terima kasih banyak, Bu Bidan, sudah membantu persalinan saya tadi malam," Ibu mengulas senyum tulusnya, yang diangguki dengan Bu Bidan.

"Semoga cepat sehat, ya, Bu. Jangan bekerja terlalu berat. Saya permisi, ya, Bu. Assalamualaikum,"

"Waalaikumsalam, Bu Bidan. Semoga selamat sampai tujuan,"

Setelah obrolan singkat itu, Indah menemani Bu Bidan. Sembari melewati jajaran pohon bambu yang rindang, dan bunyi gemerisik dedaunan bambu yang saling bersentuhan, Indah berbincang dengan Bu Bidan.

"Kalau boleh Ibu tau, apa penyebab Bapak meninggal, In?" dengan hati-hati Bu Bidan bertanya.

Indah mengulas senyum getir. " Bapak di keroyok warga, waktu ketahuan merampok motor di kampung sebelah," suara Indah terdengar bergetar. Ia sedih. Setiap mengingat bapaknya, hatinya selalu sakit. Bak di hujam seribu belati.

"Jadi ... kejadian tempo hari di kampung Ibu, yang begal di habisi warga hingga meninggal di tempat itu, Bapakmu?" Bu Bidan menghentikan langkahnya dan menatap ke arah Indah.

Gadis itu mengangguk pelan. "Iya, Bu. Itu Bapak saya,"

Tiba-tiba bulu kuduk Bu Bidan berdiri, ia menyentuh tengkuknya yang meremang.

Seolah ada mata yang menatap ke arahnya. Ia merasa ada yang memperhatikan di kejauhan.

Perlahan, Bu Bidan menggerakkan kepalanya, memastikan jika memang tak ada orang lain selain mereka.

Benar saja, tak ada siapa pun. Ia bernapas lega, dan meneruskan perjalanannya bersama Indah.

Sesampai di persimpangan jalan, Indah meraih tangan Bu Bidan dan mengucap terima kasih.

Bu Bidan akhirnya mengucapkan kata selamat tinggal sebelum ia pergi dan melambaikan tangan.

Indah menatap wanita muda itu dengan haru. Tak terbayang jika tadi malam tak ada beliau yang membantu persalinan. Mungkin ibunya ...

***

Malam itu Pak Dirga dan beberapa warga dengan terpaksa harus berangkat ke areal persawahan.

Banyaknya hama tikus yang entah datang dari mana membuat tanaman padi yang hampir panen banyak yang rusak.

Tikus memakan batang dan biji-biji padi dalam jumlah yang lumayan banyak, sehingga mengancam produksi padi yang akan mereka jual.

Pak Dirga dan teman-teman petaninya berniat mencari tempat persembunyian tikus dan menutupnya. Itu adalah salah satu cara untuk menghentikan hama tikus yang semakin merajalela.

Awalnya mereka enggan, mengingat ada kejadian mengenaskan beberapa hari yang lalu, tapi karena terpaksa, mereka akhirnya tetap berangkat bersama.

"Hmmm, Don, kamu cium bau gosong, ga?" tanya Pak Dirga pada temannya yang berada tepat di belakangnya saat meniti pematang sawah.

Drap-drap-drap!

"Bang, aku juga nyium, entah yang lain," dan saat bersamaan, Dono mendengar derap langkah kaki menjauh, ia penasaran dan memutar tubuhnya.

"A--a-- po...,"

Brughttt!

****

Dendam Arwah BapakWhere stories live. Discover now