part 78

422 21 1
                                    

Bismillah

              Pocong Itu Bapakku

#part 78

#R.D.Lestari.

Pov Indah.

Burung-burung mati itu merupakan burung gereja yang biasa mampir memakan nasi sisa yang kadang di buang Danang di pelataran rumah.

Adikku itu memang penyayang binatang. Ia sengaja tak menghabiskan makanannya dan melemparnya keluar.

Ia sering berjongkok di ambang pintu dan memperhatikan burung-burung kecil itu makan beramai-ramai.

Apa ada yang salah dengan burung-burung kecil itu?

Aku berjongkok dan meraih salah satu bangkai burung. Mengendusnya perlahan, tiada berbau. Kemungkinan belum terlalu lama mati.

Namun, kulihat dari duburnya, berdarah. Kuperhatikan satu persatu, mereka punya ciri yang sama.

Apakah ini sejenis racun? apakah sama dengan yang di konsumsi Danang?

Berbagai pertanyaan berseliweran di kepalaku. Aku akhirnya tersadar saat mendengar suara Ibu memanggil namaku.

"Indah! ngapain jongkok di situ! Danang bagaimana keadaannya?"

Aku menoleh ke arah Ibu yang berdiri diambang pintu. Wajahnya terlihat kuyu dan keningnya berkerut. Mata sayu yang nampak kurang tidur itu menatapku sendu.

Perlahan bangkit, karena kaki ini terasa pegal dan nyeri, berjalan pun tertatih.

Ibu semakin terlihat khawatir, tapi Aku berusaha mengulas senyum agar Ia bisa sedikit tenang.

"Danang ... Alhamdulillah selamat, Bu. Dia lagi di rawat Bidan Dewi yang dulu menolong persalinan Ibu," jelasku.

Ibu menghela napas lega. Ia lalu merangkulku dan mengecup pipiku.

"Terima kasih, Indah. Berkat Kamu ... Kita tidak jadi kehilangan keluarga lagi. Ibu benar-benar takut kehilangan lagi, cukup bapakmu saja, kalian jangan,"

Sontak Aku menatap ke arah Ibu yang tertunduk. Sembari memegangi Mulyani yang digendong dengan kain panjang andalannya itu.

Sosok di sampingku itu mulai tersedu. Aku yang tak bisa menyembunyikan rasa haru itu langsung memeluk tubuh ringkih itu.

"Ibuk... jangan nangis, Bu. Danang baik-baik saja. InsyaAllah, Indah akan menjaga agar kita selalu bisa bersama," janjiku. Tanpa terasa air mata juga merembes di ujung mataku.

Cukup lama Kami berada di fase sedih dan terharu. Aku akhirnya mengajak Ibu duduk. Kami duduk berdampingan di ruang tengah.

"Bu ... apa Ibu ada menyimpan racun tikus di rumah Kita? dan apa yang disantap Danang tadi pagi, Bu?" tanyaku hati-hati, takut Ibu kembali khawatir.

Ibu menatap ke langit-langit rumah, seperti memikirkan sesuatu, tangannya masih dengan menimang Mulyani, adikku.

"Ibuk cuma nyediain ubi rebus, trus Ibu tinggal masuk ke dalam kamar, Mulyani minta nenen," Ibu mengalihkan pandangannya ke arahku. Ia memiringkan tubuhnya hingga Kami jadi berhadapan.

"Ibu ... juga ga pernah nyimpen racun tikus. Wong di rumah Kita jarang tikus, itu si meong pinter nangkep," Ibu menunjuk kucing kami yang bernama meong yang saat itu sedang asik menjilati bulu hitamnya.

"Tapi ... tadi pagi ... Ibu dengar suara Danang bercakap-cakap, ga jelas ngomongin apa, yang Ibu dengar Danang bilang terima kasih,"

"Itu ... Danang ngobrol sama Kamu, In?"

Dendam Arwah BapakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang