part 46

3.6K 284 4
                                    

Bismillah

     
               Pocong Itu Bapakku

#part 46

#by: R.D.Lestari.

Kartini menutup pintu dengan kesal. Membiarkan anak sulungnya itu pergi begitu saja dengan sejuta tanya.

Bayi mungil digendongan sudah tertidur pulas. Kartini meletakkannya dengan sangat hati-hati agar Ia tak terbangun.

Senyum tersungging di bibirnya. Lengkungan itu seolah jadi tanda kebahagiaannya.

Wanita paruh baya itu mendekat ke arah bangkai ayam yang di penuhi banyak belatung tanpa rasa jijik sedikitpun.

"Pak ... bangkai ayam sudah Ibu siapkan. Ibu sudah tak sabar lihat Bapak," lirihnya.

Sunyi dan senyap. Tak ada pergerakan apa pun. Kartini mendesah kecewa. Padahal Ia sudah kangen sosok yang selama ini selalu berada di sampingnya.

Dok-dok-dok!

"Apa lagi!" teriak Kartini saat mendengar bunyi ketukan di pintu kamarnya.

"Buk ... Danang lapar...," suara Danang diluar terdengar memelas. Kartini menghembuskan napas kesal.

Ia lalu membuka lemari pakaiannya dan merogoh sesuatu di bawah tumpukan lipatan pakaiannya.

Benda tipis berwarna biru itu ia tarik dan masih membawa bangkai ayam di nampan yang terbuat dari rotan, menuju ke arah pintu dan membuka nya dengan paksa.

"Nih ... belikan apa yang Danang mau, dan ingat! jangan ganggu Ibu!" bentaknya saat mengulurkan selembar uang lima puluh ribuan.

Danang terkesiap melihat uang yang diberikan ibunya, tapi tatapan matanya melesat ke arah nampan yang berada di tangan kanan ibunya.

Aroma bangkai yang menyengat serta merta membuat selera makannya hilang seketika.

"Bu ... Buk... itu apa?" dengan suara bergetar, Danang menatap gerombolan belatung yang merayap dari dalam bangkai ayam bergerak memenuhi nampan.

"Hoh, ini? ini makanan untuk bapakmu," jawab Kartini sekenanya.

"Bapak? Bapak kan sudah meninggal, Bu," dengan polosnya Danang berucap.

"Shuttt, siapa bilang? Bapakmu itu cuma pindah alam, Nang. Makanya, Kamu nurut sama Ibu, ya. Biar bapakmu betah di rumah," Kartini menyelipkan uang itu di tangan Danang.

Danang meneguk ludah perlahan. Tatapannya nanar saat ibunya terlihat menakutkan.

Namun, Ia tak mampu membantah. Ia takut ibunya marah dan membentaknya sama seperti Mbaknya tadi.

Entahlah. Mungkin karena ibunya itu bukan sosok pemarah seperti ibu-ibu lain. Ia penyabar dan tak pernah berkata kasar. Kasih sayangnya begitu nyata.

Jadi, begitu ibunya itu berkata kasar, Ia begitu tertekan dan merasakan kesedihan.

"Dah, beli sarapan sana. Kamu anak pinter, 'kan?"

Danang mengangguk pelan. "Kalau pinter, nurut sama Ibu, ya?"

"Iya, Bu. Terima kasih, Bu. Danang pergi beli gado-gado dulu," pamitnya.

"Ya, hati-hati, Nak," Kartini melambai beberapa saat, Ia lalu berbalik dan kembali ke dalam kamar. Mengendus aroma bangkai yang menguar dari ayam yang sudah mat* beberapa hari lalu.

"Ahh ... nikmatnya ...," ucap Kartini begitu menikmati aroma yang seharusnya membuatnya mual, tapi Kartini malah begitu menikmatinya.

Kartini mengangkat tinggi-tinggi nampan berisi bangkai hingga melewati kepalanya.

Dendam Arwah BapakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang